Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Menjadi Mudah Karena Fislosofinya

--- Menulis untuk mengingat ke sekian kalinya


Aku benar-benar yakin, saat ini mataku telah terbuka lebar. Perspektif belajar telah ku serap dengan sebaik-baiknya. Mungkin dahulu aku bermimpi menjadi manusia yang berharga jika andai menjadi bagian dari yang aku inginkan. Padahal nyatanya yang justru dijalani dengan tekun dan sebaik-baik mungkin akan menjadi berharga pula. Jangan biarkan masa yang berlalu meragukan masa depaan hingga yang engkau jalani saat ini memberi ketidakikhlasan sebagai predikat. Padahal nyatanya semua Tuhan (Allah) ciptakan adalah baik.

Membuka Ranah Filosofinya

Kita adalah manusia yang telah disabdakan oleh Tuhan (Allah) agar terus beribadah. Ya memang beginilah tugas kita, beribadah saja. Apakah belajar adalah ibadah? Tentu aku ingin mengatakan, "bukan!". Loh mengapa begitu? Ya kalau begitu, negeri barat juga belajar. Apakah negeri barat juga beribadah? Aku sedang tidak bermain-main loh. Apakah makan juga beribadah? Tentu bukan. Pada dasarnya ibadah adalah ibadah semata, demikian seharusnya. Sedangkan belajar, makan, minum, buang air kecil dan besar, berolahraga, berlari adalah kebiasaan. Hanya saja, Telah Tuhan(Allah) ciptakan dua potensi dalam manusia. Jika waktu kita tidak dihabiskan untuk kebaikan, tentu akan kita habiskan dalam keburukan. Lantas, Kebiasaan tersebut dapatlah bernilai ibadah. Menjadikan nilai ibadah tentunya selalu didasari doa saat di awal maupun diakhir. Niat yang ikhlas yang jalannya sepadan dengan jiwa saaat bergerak.

Aku tak jarang mendengar, mahasiswi kedokteran yang sedang praktik dalam suatu rumah sakit dan yang ia keluhkan adalah perlakuannya seperti buruh pembantu. Bahwa pernah pula seorang pemain sepak bola yang rela kehilangan kakinya saat di awal latihan belajar bermain sepak bola. Seorang dokter yang tekadnya besar mengahafal Qur'an dengan kefasihan adat setampat, yang setiap harinya menempuh sebuah pesantren di pedalaman. Padahal kiranya tempat yang sering ditempuh dalam perjalanan setiap malamnya adalah rawan pembunuhan. Bisakah pula engkau bayangkan seorang yang kehilangan tangannya seumur hidup hanya karena menjaga kelestarian suatu satwa di pemberdayaan yang langka? Apalagi jika engkau tahu hari ini ada seorang dosen mengusirmu dari sebuah ruangan dengan perlakuan tidak adil? Nilai E? 

Maka demikianlah sesungguhnya belajar yang harus kita tanamkan dalam persfektif kita.

Belajar yang bukan hanya sekedar predikat mendapat kelulusan tercepat atau jarang terjatuh serta tersandung oleh banyak hal, bermodal ilmu kampus saja, jarang membaca atau mudah mengeluh, tidak bergaul dengan teman-teman yang membuka wawasan, jarang berdiskusi dengan relativisme ilmu sehari-hari yang saling singkron dimana saja, gak gaul ah, dan ingin selalu terlihat perfect. Tapi, siapa yang tahu sih ilmu dalam lubuk masing-masing? Tugas kita bukanlah mengerjar-ngejar orang lain, tapi bagaimana bisa menguasai diri dengan banyak hal, penasaran dengan apa saja, dan mencari tahu tentangnya dibelahan dunia mana saja. Mucullah filosofi rasa tenang itu teman, belajar dengan mudahkan niat belajar itu sendiri. Belajar yang memunculkan keberhasilan itu bukan harga gampangan. Bahkan menguras waktu seumur hidup. Ini lah difinisi belajar sesungguhnya. 

Maka memperbaiki niat belajar tentu sangat diperlukan, niat karena ingin mendapat ridha dan ilmunya bermanfaat kelak bagi manusia. Doa memohon kemudahan yang tulus kepada sang Rabbi untuk menyerap ilmu dengan cepat juga selalu dipanjatkan. Terpenting adalah, meminta agar ilmu selalu di dada karena prestisenya menaikkan derajat disisi manusia dan juga Tuhan(Allah). Karena berilmulah memudahkan seseorang bertemu dengan rabbnya kelak, surga. Lantas karena rasa syukur yang selalu dipanjatkan dalam ilmuaNya yang tiada tara. Tiada yang luput sekecil apapun. Mungkin dengan niat bertemu dengan Tuhan kelak, kita akan menganggap rintangan belajar adalah sebagai sebuah tingkatan untuk naik dan terus berusaha.

Nilai atau prestise itu hanya penyemangat. Seperti dahulunya emas yang disertifikatkan dengan selembar uang. Begitu mahalnya sertifikat uang itu dahulunya menilaikan emas. Bukan lagi uang yang beredar banyak saat ini. Demikianlah, sebuah kelulusan terbaik adalah selalu disertai serapan ilmu yang bernaung dalam diri pribadi seseorang. Dengan menjadi seorang mahasiswa seharusnya bukanlah sertifikat kelulusan cumlaude yang akan selalu diperlukan, tetapi seberapa banyak ilmu yang telah diserap dan diaplikasikan. 

Dengan menjadi seorang dokter mungkin kita dapat menjadi koki masak handal, atau seorang peneliti yang juga dapat menjadi penulis novel terbaik dinegerinya, menjadi seorang teknisi juga bisa menjadi seorang klub musik atau menjadi seorang pendakwah yang bisa menguasai banyak bahasa dan mengelilingi dunia.

Belajar itu mudah karena memperlajari filosofinya.