---Pramoedya Ananta Toer—
Bumi Manusia. Mungkin
tidak semua sosok manusia mengenal salah satu pemilik novel tetralogi ini. Pramoedya Ananta Toer atau yang
kerap disapa Pram. Tetralogi Bumi Manusia. Novel roman dengan tetralogi baru
yang mengambil latar belakang dan cikal bakal kebangsaan Indonesia di awal abad
ke- 20. “Bumi Manusia” merupakan tetralogi pertama yang kemudian disusul dengan
“Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”. Dibekali rasa yang
bergejolak luar biasa menempatkan jemari tangan untuk segera melukiskan novel
yang begitu hebat mengubah paradigma dan pola pikir. Sudut pandang yang tercipta
dalam novel ini pada dasarnya berhak dibaca oleh semua warga Indonesia dan tentunya
tanpa disadari oleh banyak pihak telah menjadi sumbangan terbesar Indonesia
untuk dunia.
Kerap
mengungkapkan penulisan karya yang sangat sentimental. Bukan saja karya sejarah
yang hebat, namun juga novel yang bersatu dalam amukan revolusi Indonesia yang
sama sekali tidak mendapat kebebasan pers mutlak pada masanya. Pram menuliskan
karya-karyanya dalam dekaman terali penjara selama 33,5 tahun masa revolusi, ketidakadilan
mengecamnya begitu lama sebagai tuduhan pendukung gerakan 30/S/PKI. Pram
menuliskan banyak hal yang mungkin saja generasi saat ini tidak banyak
mengetahuinya. Revolusi telah menutup rapat karya-karya pram yang dianggap
edaran penulisan yang paling menuai kontroversi dan aib. Beberapa karyanya yang
lain terputus akibat dibakar selama mengalami tahanan.
Adapun
kata seorang pelajar juga harus adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam
perbuatan. Merupakan ungkapan Jean Marais (baca: Syang Mare) kepada Minke
mengenai cerita banyak orang mengenai kehidupan Nyai Ontosoroh. Ungkapan ini
digulirkan dalam menemukan titik temu berpikir positif agar tidak menghakimi
sesuatu yang sama sekali belum diketahui secara pasti. Bahwa pendapat banyak
orang tidak selamanya benar dan bagi seorang Minke yang terpelajar sudah
semestinya menerapkan berpikir adil sebagai pribumi yang terpelajar. Jika
tidak? Bagaimana mungkin Minke memenuhi plakat sebagai seorang terpelajar jika
sejak masih hijau saja ia tak mampu berlaku adil?
Minke
adalah sosok pelajar yang mempunyai kesempatan belajar disekolah keturunan
Eropa. Ia semakin melihat mayoritas jawa dari negerinya semakin terpuruk dan
terbelakangnya mentalitas akibat penjajahan yang berkepanjangan. Semua tunduk
pada aturan Belanda. Pada cerita Minke sangat beruntung karena memiliki
kesempatan untuk berada di HBS dan sikapnya pun ikut kebarat-baratan.
Boerderij
Buitenzorg adalah nama lain dari nama Nyai Ontosoroh. Penguasa besar dikalangan
Jawa. Masyarakat sering menyebutnya Nyai Ontosoroh karena mampu dalam
pelafalannya. Sebagai mana banyak asumsi yang datang dari berbagai kalangan
Jawa, sebutan Nyai adalah sesuatu hal yang memalukan. Nyai adalah salah satu
sebutan kerap bagi semua kalangan bangsa Jawa yang menjadi istri tidak sah atau
simpanan para tuan-tuan belanda. Benar. Memang sekilas, semua orang akan
menganggap Ontosoroh adalah bagian yang paling bersalah. Namun, tidak banyak
orang yang mengetahui bahwa Nyai menyayangkan dirinya yang memiliki orang tua
yang rela menjualnya kepada tuan-tuan itu demi jabatan khusus, sungguh ia
membenci dan keji atas perbuatan orang tuanya tersebut. Ia diserahkan kepada
Tuan Mellema. Penguasa hebat kala itu.
Namun,
yang terjadi adalah sebaliknya Ontosoroh banyak belajar pada tuannya. Ia
diajarkan membaca dan belajar, tentang semua hal diperpustakaan suaminya, yang
menjadikannya terdidik dan berpengetahuan luas bahkan mengelola perusahaan
besar milik suaminya, punya pemikiran yang tangguh dan hebat dibandingkan
perempuan-perempuan Belanda pada umumnya. Nyai melalui tulisan-tulisannya dan
inspirasi hidupnya telah membuat minke tergerak dalam memperjuangkan
kebangkitan nasionalis jawa dan hak-hak yang telah direbut serta dibedakan
hukum-hukumnya dalam mata belanda karena mereka adalah pribumi yang lemah dan
rendah.
Pada
bagian cerita juga dilukiskan betapa Minke sangat menyukai Annelies yakni anak
dari Nyai Ontosoroh. Minke sangat senang pada wajah manisnya yang keeropaan. Annelies
sangat mencintai Minke, sehingga Minke sering diizinkan menginap Nyai Ontosoroh
di rumahnya dan dijemput delman Nyai ketika sekolahnya berhenti sejenak untuk
menemani anaknya di rumah. Ketika beberapa waktu lepas dari kematian tuan
Mellema, Annelies dinikahkan dengan Minke dalam nuansa pernikahan karena cinta
yang telah diimpikan Nyai Ontosoroh, ia menyaksikannya, ia benar-benar tidak
ingin anaknya menjadi sepertinya. Namun, masalah datang setelah pernikahan.
Anak dari pernikahan sah tuan Mellema datang dan mencoba mengambil alih semua
kekayaan yang telah diusahakan dalam jangka panjang oleh Nyai, termasuk anaknya
Annelies juga harus dikembalikan ke Belanda dan tidak berhak atas Annelies
apalagi mengantarkan Annelies ke Belanda. Pernikahan yang baru saja
dilaksanakan bersama Minke juga tidak dapat dianggap sah karena tidak sesuai
dengan hukum Belanda.
Maka
nyai, Minke dan semua kalangan yang mengenalnya menyorot kasus ini dalam ruang publik
yang luas untuk mendukung pernikahan Annelies yang tetap sah secara hukum
agama. Semua mengacungkan semangat kaum jawa yang semarak menggema di negeri.
Namun, sayangnya keputusan anaknya yang sah sebagai warga Belanda tidak dapat
dielak dan Annelies dengan tersedu-sedu berpisah dengan Minke dan Ibu yang
dicintainya. Ia bergerak menuju kediaman Sri Ratu Wilhelmina, sesuatu yang
tidak diinginkannya seumur masa.
“kita telah kalah, Ma.” bisikku
“kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya.”
bagus sekali isi bukunya ya, sampai2 banyak sekali yang buat referensi untuk buku ini
BalasHapusIya.. pesan moralnya bagus kak. Tentang sejarah indonesia dlu, anak indonesia patut tahu.. Meskipun ada emosi-emosi tertentu yang membuat novel ini harus di filter untuk anak-anak dibawah 17 tahun.
BalasHapus