“rrrrrrrrrrrrrr........nnnggg....,
rrrrrrrr.........nnnggg...”
Deru
suara kendaraan bermotor terus melantun di cupingku yang bertutupkan hijab.
Membawa serentetan spare-part motor yang lengkap dan saling terhubung membantu
pergerakan mesin yang berkendara pada aspal abu-abu dan bentuk motor yang
stabil jika dilihat. Telah Aku habiskan menu yang cukup lezat dari sebuah
warung makan ayam yang tidak perlu aku sebutkan namanya. Bukan dengan tidak
sengaja menggabungkan diri bersama teman-teman. Teman-teman sekolah dasar yang
sudah lama tak aku tatap wajahnya. Sebenarnya ini adalah moment berbuka puasa
tahun lalu. Jika saja bukan karena ingin menatap
wajah mereka, Aku dapat saja berbuka tanpa ayam yang lezat dan lebih memilih duduk santai berbuka dengan keluarga tercinta seperti biasanya.
wajah mereka, Aku dapat saja berbuka tanpa ayam yang lezat dan lebih memilih duduk santai berbuka dengan keluarga tercinta seperti biasanya.
Aku tidak memikirkan tentang apa
yang akan aku lakukan disana, tidak sedang untuk apapun kecuali hanya bertemu
teman-teman lama yang luar biasa seangkatan 2006. Sebenarnya juga tidak perlu
makanan yang super mewah ala restoran pinggir jalan. Yang Aku rindukan itu
teman-teman. Untuk itulah, setelah minum air satu gelas, sudah membatalkan
puasaku secara hukum agama bagi orang-orang yang berpuasa. Namun, pertemuan ini
sederhana. Sebelum berbuka telah Aku sapa satu-persatu para lelaki yang mulai
breokan dan berbadan tinggi melewati pubernya diumur belasan. Meskipun Aku
tidak lagi bersalaman dengan laki-laki secara
langsung kepada yang disebut non-muhrim. Para perempuan-perempuan yang cantik
juga telah menghangatkan suasana hati, masa puber yang akan segera habis
dimakan tuan. Kami semua akan melanjutkan ke perguruan tinggi segera tahun ini.
Pada awal perjumpaan yang hangat
itu terbesit bahwa seharusnya Aku bertemu sekitar lima puluh orang lebih.
Tetapi yang hadir hanyalah sekitar dua puluh lima. Kemanakah yang lain berada?
Apakah urusan soal bertemu yang hanya satu jam ini dipisahkan dari
kehidupannya? Atau bahkan mereka tidak mendapat izin orang tuanya? Atau harus
belajar untuk persiapan akademik masuk perguruan tinggi? Atau membantu Ibu nya
yang memasak di dapur sendirian untuk berbuka?atau... dan atau terus membayang.
Tidak perlu kecewa hatiku bergumam. Namun, kabar bahagia terbesit dalam hati
bahwa hari ini teman lama yang paling sangat aku harapkan agar dapat bertemu
itu datang dengan senyuman yang penuh ketakutan. Wajahnya dahulu lebih putih
dan menawan sekali. Aku mengetahui bahwa sekolah menengah yang ia jalani saat
ini ialah berasrama putri dan Aku tahu benar sekolahnya itu sangat terkenal.
Namun, Aku tidak pernah pula berjumpa dengannya sejak enam tahun yang lalu.
Yang aku tahu dari temannya yang Aku kenal satu asrama, ia suka bermain basket
dan perempuan paling unik tingkahnya disekolah. Entah unik yang seperti apa
juga tidak disebutkan, namun yang pasti ada banyak cerita lucu dari
teman-temannya bahwa Ia paling anti laki-laki, jika ada lelaki ia pasti
ketakutan meskipun pelatih basketnya laki-laki, seiring dengan terbiasa ia
menjadi tidak segan, tetapi angkat tangan jika bertemu laki-laki lain. Ia pasti
lari pontang-panting menghindar jauh-jauh.
Oh iya, ada apa yak ok cewek
manis ini terlihat tidak percaya diri dan ketakutan?
“apa
kabar ira? Sehat ya?” sapaku.
“iya,
dede tampil cantik ya hari ini, sepertinya udah jadi muslimah beneran.”
Balasnya.
“memang
dahulunya Aku kenapa? Kayak cowok ya?” sahutku santai.
“haha..
itu dede yang bilang, :P” ledeknya.
Benar, percapakan kami berlangsung
baik sepanjang waktu sebelum berbuka. Namun, mengapa wajahnya seperti cemas dan
tidak bergairah? Terlihat ekspresi wajahnya yang sangat membuat diriku ingin
bertanya lebih jauh.
“ah
iya, dengan siapa ira kemari?” tanyaku lagi.
“iya..
Aku di antar bapak, de.” Sahutnya pelan.
Beberapa
detik kemudian,
“dede
kemari sama siapa? Rumah dede kan jauh, emang de gapapa pulang magrib-maagrib?”
tanyanya yang sangat tersirat punya maksud.
“iya,
de naik motor ra.. de udah minta izin kok ra, emang kenapa ra?!” tanyaku
kembali.
“oiya
de, kamu mau kan kita pulang bareng, soalnya Bapak pesan aku disuruh pulang
sama kawan sekolah aja, dirumah gak ada orang, please!! Aku bingung harus
pulang dengan siapa.” Pintanya
“siippp!!”
aku mengedipkan mata
Dimata temanku, aku berubah.
Mata mereka tampak sedikit segan menyapa. Aku menyadari pertemuan tatap muka
kembali setelah sekian lama berpisah membuat pandangan terlihat berubah
drastis. Tidak heran jika hari ini sangat segan Aku untuk disapa. Padahal
dahulunya Aku dan mereka menyukai peperangan mulut, ide, semua bentuk
kekritisan anak kecil yang sama sekali aneh jika dilakukan kembali.
Menggoyangkan meja yang dempet dengan kursi teman didepan untuk saling dorong
hingga siapa yang patut menang dalam pertarungan meja kursi yang saling
ditolak. Ah, ada-ada saja. Apalagi jika dahulunya belajar bahasa Aceh, terdapat
salah satu teman yang aku juluki banci, suka mengajak pertarungan sengit, adu
mulut pada saat sebelum pembelajaran bahasa Aceh dimulai sehingga
ujung-ujungnya Aku yang harus dihukum. Pandangan guruku dalam hati, “perempuan
kok berantem dengan laki-laki”, Aku Kesal menggerutu karena sebenarnya bukan
Aku yang memulainya. Ah, masa sekolah dasar, tidak masuk dalam logika tindakan
sehat. Hanya satu hal positif yang selalu terbayang yakni ke kompakan ketika
salah seorang teman pindahan masuk ke sekolah kami dan mengejek sekolah kami
“bodoh”, kami semua satu kelas memarahinya, seraya kesalnya bukan main, “eh elu
siapa sih”. Sekolah dasar kita bukan main.
Apalagi jika saat itu, serune
segera berdentang-dentung. Mungkin lebih tepatnya melantun, Aku segera minum
air dan kemudian langsung menuju tempat mushala untuk shalat magrib sembari
berwudhu sebelumnya. Mungkin mereka merasa heran, mengapa saya tidak lebih dulu
makan? Apa tidak lapar neng? Aku segera bergegas. Bagiku makanan soal terakhir.
Ah iya, tidak perlu heran rasanya jika Aku ingin lebih bergegas, jadi selesai
shalat Aku bisa bersantai, statement antara kepala dan hati, tetapi tidak aku
masukkan statement perut karena perut terkadang sulit berstatement soal
makanan.
Selesai shalat, aku berbicara
penuh ria. Soal mereka yang berbicara penuh soal kuliah. Menurutku ini topic
menarik. Hampir semua dari mereka menunggu hasil pengumuman undangan seleksi dari
sekolah masing-masing. Mengagumkan. Namun, disudut yang berbeda masih ada yang
terdiam, yakni ira. Apa yang dipikirkannya? Mungkin ia ingin sekali mengatakan
kapan ia dapat pulang bersama denganku. Maka aku segerakan percakapan yang
menarik ini, Aku menghibur mereka dengan salam perpisahan, berharap bisa
berjumpa kembali dan bertatap muka dengan keadaan yang lebih memungkinkan.
Semoga.
Ira yang tiada kusangka, benar,
ia menungguku. Dari awal terlihat ketakutan.
“jom,
ra. Kamu kok kelihatan gugup? Takut? takut sama siapa?” jangan, jangan dia
takut sama lawan jenis seperti kata temannya, firasat hatiku.
Ia hanya terdiam dan mengikuti
ilustrasi arahku bergerak menuju motor. Motor yang menghanguskan cuping dengan
lantunannya. Spare-part yang mengikuti bentuk pergi bersama mesin dan membawa
dua orang wanita dari kahyangan bumi antah berantah lepas berbuka menuju ke
rumah masing-masing.
“eh
ra, aku dengar ni, gimana bisa kamu phobia sama laki-laki? Gimana sejarahnya?
Aku dengar dari saudari seasramamu.” Dengan nada riang dan ingin tahu benar.
Sekejap
malu dan terkejut, “bagaimana kamu bisa tahu?”
“ya
kamu, kenapa bisa demikian? Gimana sejarahnya?” sahutku heran
“tolong
kamu, jangan beberkan sama teman-teman yang lain ya de. Tapi memang benar,
semua gara-gara, kau tau kan anak yang bertubuh kecil, bersiul dari
kerongkongan(aneh), dan rambut Leonardo dicaprionya yang terseok-seok didahi?
“Kiki?emang
kenapa? Kayaknya dia lucu apalagi kalau bicara huruf S nya mati suri”. Aku
menyengir dan tertawa geli
“Huh,
gara-gara dia. Gara-gara dia menembak (alias mengatakan cinta), saya jadi shock
dan trauma. Hanya gara-gara dia, aku ketakutan sampai efek mengerikannya itu
aku rasakan sampai saat ini, mengerikan sekali de. Dan kau tahu?”
“hmm...ya,
trus??” tanyaku ngeyel sambil memiringkan mulut dan berkening kerut.
Sejenak
ia berhenti.
“meskipun
aku anak sd, terlalu berlebihan untuk mengatakan ini kepada Ibuku sendiri yang
sebenarnya Aku terus diganggu.” Sambungnya
“ya,
menurut aku sih ra, kamu berlebihan menanggapinya.”nada bijak.
“de,
kamu gak bakal tahu kalau kamu gak merasakan. Menderita, ketakutan, mengerikan,
wah..wah.. Aku sadar, aku phobia sekali kalau ada laki-laki di depan Aku maka
dengan demikian aku masuk asrama yang dikhususkan perempuan, bahagia rasanya.”
Dengan senyum manis 5cm kanan dan kiri, ia menyahut hal tersebut.
“asrama
perempuan di Aceh ini adalah kabar bahagia besar, hebat sekali pendirinya!”
sahutnya lagi.
“okehh...aku
ikut salut deh sama pendirinya, demi kamu” aku meledek, meskipun aku tidak tahu
sebenarnya yang merasakan trauma hebat ituu bukan wanita yang bernama dede,
untung saja.
Malam semakin larut, sesegera mungkin aku harus
mengantarkannya ke rumah. Baru pertengahan jalan. Semua jalan tetap saja masih
ramai di emperan lesehan demi mencicipi menu beerbuka yang tidak
selesai-selesai dilahap.
Sembari aku tetap masih bingung,
sedang Aku sendiri membawa pulang teman yang ketakutan phobia laki-laki yang
tidak Aku sangka, Aku berhadapan dengan orang yang mengalami masalah dengan
psikisnya. Bukan tidak mungkin suatu saat aku akan jadi otodidak psikolog
sejati. Ah, ada-ada saja tamatanku kali ini.
“lantas
ra, Aku masih bingung, kalau kamu kuliah gimana?” Aku mencoba
mengkalrifikasi.”apa ada asrama kuliah yang perempuan?”
“taraaa,
jawabannya ada, tapi Cuma dua semester aja de, di Bogor. Huft..” sahutnya
senang yang hampir-hampir tidak puas. Aku hampir bingung, bagaimana bisa
memperjuangkan ide sehebat itu kepada Ibu bapaknya untuk sekolah keluar hanya
gara-gara ... (ah, sudahlah, gumam hati).
Aku
hanya bisa menggeleng-geleng dan merasa parau, trauma?
------0o0------
Semester
2,
“dede........
kabarmu gimana de? Wah de kangen.. kangen banget” sahutnya dalam chating
pertama padaku setelah sekian lama tak jumpa.
“kabarku
tidak pernah jelek ra, apalagi dapat chating dari kamu, heii... lancer studimu
ra? Kangen juga dengar ceritamu ra, kampus baru?” Sambil mengedip-ngedipkan
mata.
“kampus
baru?hmm...hmm. “
“hmm..
apa?hmm.. hmm... hmm.. maksudnya apa?”
“wah...
kalau ngelewati jembatan kampus, wah de ajaib.. soalnya di pamplet jembatan
kampus, tertulis ‘dilarang melirik
non-muhrim’. Jadi, kalau lewat jembatan semua orang nunduk. Lucu de.., lucu
banget..coba kamu ke kampus aku de.., Aceh mah lewatt.. kalau begini rasanya
kabar baik selamanya de, gak aku temukan orang pacaran dikampus itu, kecuali
kalau mau wajahnya tertempel di berbagai mading J,
dosennya breokan, berjenggot, wah ala masjid pokonya de, kalau disapa (pernah)
pura-pura sibuk aja, wah.. ada lho dosen yang belum nikah-nikah de, itu dia
berbahaya, hampir aja digosipin jadi idaman dosen. Soalnya style grogi kalau
sang laki-laki masuk ruangan, tetap aja bergetar-getar dan ketakutan... setiap
dosen gak pernah melihat aku melirik mereka sedikitpun, jadinya pernah tuh sang
dosen mampir ke meja aku, aku Cuma bisa nunduk terus... tapi apa daya, sudah
kuduga aku tidak berbeda dengan yang dulu, tsk!” nada sikon chat nya ( : / ),
campur aduk senang kecewa.
“oh..
gitu ya ra...” sahutku dichat yang singkat.
“yaaa..
J” smile yang tidak
ikhlas dan kurang tenang itu muncul
“ra?..”
ku kembali
“ya
de..” sahutnya.
“ra aku
hanya bingung, apa yang terjadi kalau kamu akan segera menikah nanti, tiba-tiba
misua(*suami) kamu masuk ke kamarmu? Aku tidak bisa membayangkan” tanyaku
serius dan misterius.
“J”..lagi-lagi hanya
senyumannya tersambung ke bulan sabit kembar sejak tadi.
Tuhan
rabb.. Aku tidak mengerti phobia
---------o0o------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar