Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Bintang Pemangkas


“Heeeiii.......... lari...lari... Mas Gendeng, Mas Gendeng..!” ricuh teriakan seorang lelaki trotoar
“Terus kami, kami harus apa?” jawab risau wanita-wanita pedangang kaki lima yang sedang menanti rezeki
“Sudah... lari saja, bawa barang seperlunya, tidak usah semua..cepat-cepat atau habis kita diterpa!”

                Kini sang lelaki yang berteriak berlalu dari suaranya. Semua telah bergegas berlari-lari atas kedatangan mas-mas gendeng. Kini lelaki trotoar tesebut telah berlalu. Menghilangkan jejak kaki pada aspal-aspal perkampungan. Tidak perlu bertanya soal wanita-wanita tadi. Semua telah menyudut demi semua yang tertinggal habis dari mas-mas gendeng.

                Mas gendeng  bukan penggerak kemajuan para trotoar meskipun akan. Mereka ibarat kayu korek api yang siap menggesek diri dan api hidup berjelaga, merekah dan memerah bagi yang mengena. Hidupnya yang akan membakar yang sudah terbakar. Para wanita-wanita dan lelaki yang terbakar hidupnya atas paksaan hidup yang tidak madani. Troroar yang bukan milik mas-mas gendeng, namun dikuasai demi menjulangkan hutang-hutang yang berbunga-bunga, berakhir hari ini.

“Bu.. habis sudah usaha Bintang!” wajahnya mulai merah

“Mas Gendeng?” bintang siap mengangguk-angguk lemas.

                Bagaimanapun hati yang berkecamuk putus asa kini mulai mereda. Bintang yang awalnya sakit encok hati atas usaha yang hilang mulai kembali berekspresi dalam dunia kampung kumuhnya, warung bandrek meskipun siang tetap saja ramai. Kepedulian warga kampung kumuh pada warung bandrek adalah rutinitas penting orang-orang yang tidak bekerja. Seharusnya mereka juga minum harus bayar. Mungkin para pembuat bandrek minuman telah memakluminya meskipun terkadang ingin mengatakan tekor maniak dan segera tutup. Bintang sengaja menuju warung bandrek berkumpul dengan mereka meskipun tidak ikut menekor maniak para pembuat bandrek.

“Sudah bintang, kami mengerti apa yang menimpamu. Untuk apa bekerja keras-keras toh nasib buruk selalu ada pada warga kita.” Sahut pesimis warga

                Kini wajahnya tidak lagi memerah, ia semakin tenang meskipun terlihat sedikit termenung. Hanya saja ia tidak sedang mengiraukan perkataan pesimis warga, namun ia sedang memikirkan bagaimana nasib selanjutnya ia di perumahan kumuhnya bersama seorang wanita yang disayanginya, ibu. Hanya disaat-saat termenung ia tiba-tiba memutuskan untuk pergi menuju trotoar kaki lima tempat ia berjualan kemarin, berharap menemukan sisa penjualan pengerebekan mas gendeng rentenir. Ia mencoba menelusuri jalan rahasia agar mencapai tujuan. Jalan rahasia ini tentu bukan tempat yang paling strategis untuk dilewati, karena jalan ini penuh bebek-bebek dan anak-anak ayam bermandi dalam tanah becek yang saling menentramkan, tentunya tidak lain rumah kek tin komplek kumuh seberang kota.

                Jalan itu ia telusuri dengan seksama tanpa sepengetahuan kek tin. Seorang kakek yang mencintai peternakan  yang terkenal dengan ratusan ternak seantero komplek-komplek kumuh kota. Karena ia selalu tahu bahwa jalan pintasnya hanya satu maka ia pun melewati jalan tersebut. Namun, sayang sekali, hari ini ia belum seberuntung kemarin. Bebek-bebek hari ini berkumpul disatu tempat yang sama. Dibelakang rumah kek tin. Namun apalah daya kini ia harus melewatinya. Ia megap-megap berusaha berjalan dengan tenang dalam keadaan risau diantara bebek-bebek, anak-anak ayam dan becek-becek. Semakin lama bebek-bebek semakin berteriak keras dan anak ayam semakin mengangkat bendera pasukan pertahanan dengan suara toa-nya para ayam dan induk ayam mencotoknya hingga jeans robeknya semakin sobek. Bintang berkeringat deras. Kelenjar sudoriferanya mulai eksis dikulit gelapnya.

“Stop!!”
Bintang berhenti berjalan demi suara.

“Kalau ingin ambil ternakku,  lawan majikannya dulu anak muda!” jawab kek tin dengan lantang dengan kumis putihnya yang naik sebelah.

“Kek, tapi..!”

“paaak, poook!”pipi kananku. Dan “pooook!” sebelahnya.
----------.
“Eh, sudah bangun, cepat sekali?” Tanya kek tin sinis.

“Kek tin.. tolong beri aku pekerjaan, tolong, hanya saja aku risau kalau-kalau bertemu rentenir trotoar daganganku, kuputuskan jalan pintas kek tin!” jelasku.

                Kek tin segera menuju ke belakang dan mengeluarkan sebuah bahan-bahan yang amis menusuk hidung.

“Ini... tolong rebus kepala-kepala ikan ini, aduk hingga kental dan beri bebek-bebek dan ayamku!  jika satu saja ternakku tidak ke kandangnya atau mati, silahkan pulang kerumah tanpa pemberitahuan dan tidak perlu datang kembali!” sahutnya. Ah kek, jika ayam dan bebekmu mati satu seharusnya bukan tanggungjawabku tapi tanggung jawab keluarga ternakmu sendiri, gumamku.

                Tidak kuhiraukan. Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim. Aku mulai bekerja dengan seksama hari ini, hari sial yang memberikan financial baru. Berharap pekerjaan memberikan hasil dan bermaksud mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari dagangan yang telah hilang ditangan mas gendeng rentenir. Hanya saja, malapetaka seharusnya tidak segera terjadi dalam sehari karena ia harus bekerja giat. Tidak, sungguh tidak mungkin, satu bebek tenggelam di dalam drainase yang kotor sebelah rumah kek tin, sungguh tetangga kek tin tidak memelihara ternak. Ah, ini benar-benar bebek yang tidak kreatif sama sekali. Bagaimana bebek yang seharusnya berenang kini tenggelam? Kupulang membawa kecewa mendalam, dengan seuntai kalimat ‘ini bukan rezekiku’.

                Dipertengahan perjalanan, dengan alunan  kaki terseok-seok ke jalan dan putus asa aku pulang. Sudah kuikhlaskan kepergian dan urungkan niat untuk kembali melihat dagangan di trotoar yang mungkin saja sudah kehilangan jejak, jarak kaki yang ingin sampai pada istana rumah akan segera dibalut sebuah kabar nihil untuk ibu.

“Bintang.... kemari Kau!!” panggil tetangga sebelah barat tidak jauh dari rumahku

“eh emas!”sahutku

“kau mau tidak kutawarkan memandikan anjing kesayanganku seminggu tiga kali?” harapnya.

                Ah,  Yang benar saja dalam benakku, dahulu anjingnya selalu mengejar-ngejarku tanpa alasan ketika aku masih cukup belia dan baru saja putus dari pendidikan sekolah, ini anjing gila.
“setuju tidak?” Tanya emas.
“maaf emas, aku lebih suka memandikan kucing!”
------
                Memutuskan tidak keluar selama sepekan dari rumah  adalah hal yang tepat untuk menghilangkan kekecewaan meski tidak sepenuhnya. Mencari rezeki itu sulit. Sejenak Antara kecewa dan tidak mengapa namaku adalah bintang. Seharusnya saat ini aku sudah menjadi bintang film, penyanyi, segala bentuk bintang yang mungkin bisa.  Kuputuskan menemani ibu memotong sayur-sayur sisa seminggu yang lalu, tomat yang setengah membusuk, dan toge yang mulai cokelat yang sengaja disimpan untuk mencukupi bahan pakan yang seharusnya habis dalam beberapa waktu saja. Berharap memakannya dengan garam yang tidak lagi asin melainkan hambar rasanya dimulutku.

“Untuk apa termenung dirumah nak? Keluar! Rezeki tidak akan menjemputmu jika rumah saja”

                Selesai makan dengan  menundukkan badan dan tidak berbicara aku keluar rumah setelah sekian lamanya. Belum saja sepenuh badanku keluar dari pintu, seorang dengan tergesa-gesa menyerobot ingin bertemu dan membawa sebuah gunting berbentuk kayu.

“Bang, tolong potong rambut aku seperti abang ronaldo di tv! Cepetan bang, aku mau soccer bang. Tingkat nasional” jawab si tamu mendadak.

“aku bukan tukang pangkas Dik!’

“Jangan banyak bicara bang, lakukan, cepetan! waktuku tidak banyak, tiga puluh menit lagi satu rombongan bus akan menjemputku dikampung kumuh ini !

                Aku ingin menanyakan, bagaimana mungkin anak kampung yang tidak kukenal ini memaksaku memotong rambutnya. Seakan mengerti pola pemotongannya, aku berusaha menggunting mulai dari belakang kepalanya dengan nada gunting ‘ting..ting..ting..’ pertemuan dua sisi gunting secepat kilat hingga ke ujung kepala menuju dahi.

“Dik.. udah jadi Ronaldonya!” dengan mengembalikan guntingnya dan berpikir keras sambil tidak mengerti sebenarnya aku tidak mengerti bentuk rambut Ronaldo.

“Ok, ini Mas!” dengan mengeluarkan selembar uang kertas berwarna hijau.

“Oya Mas, namaku Dodo, aku pergi!” dengan tergesa-gesa ia berlari dan menghilang.
                Ibuku tersenyum.
------
                Sudah tiga hari rumahku kekurangan air untuk bersih-bersih. Niatku membeli air bersih disebrang kota tiga drum penuh ukuran besar, biasa untuk mengisi minyak.  Drum-drum dari sisi dapur yang penuh dengan sisa pembakar kayu. Sepeda dayung yang memiliki penggerek barang disebelahnya yang terbuat dari kayu-kayu sisa.

                “Drr...drr...drr...”

                “Drr..drr..drr..”

                Terdengar dari kejauhan pintu bergedor. Apakah anak kecil itu lagi? Kubuka kembali pintu.

“Bang.. bang..bang..bang...”teriak sebanyak dua puluh anak dengan seragam bola mendatangi rumah.

“Bang.. potong rambut kami seperti dodo” semua mengangkat tangan dengan uang kertas yang bervariasi, uang warna merah, biru dan hijau. Satu hingga dua lembar.

                Kuulangi rutinitasku sambil tersenyum rezeki menempel dalam baying-bayang, kali ini menggunakan guntingku. Dodo memperhatikanku mecukur rambut teman-temannya sambil memberitahu posisi cukuran yang ganteng. Pukul 3 mereka akan kembali bertarung.

“Bang.. sore ini perebutan final, Abang boleh ikut Kami!”sahut bocah-bocah yang sama sekali tak kukenal.

                Maka aku bergegas menuju kamar setelah mencukur habis semuanya. Dengan pakaian yang rapi. Aku melihat mereka bertanding dengan cukuranku. Sungguh mengasyikkan.

“bintang pemangkas dadakan?” ibuku tersenyum dan membalas senyumnya
-----

“Goaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaalllllk, goaaalll, yeaahhh, yuhuu..”. sorak-sorai gembira para penonton turnamen dan badanku bergetar, bola masuk gawang dengan kepala dodo, pangkasan pertamaku.

                Anak-anak yang lincah. Anak-anak itu kini menuju tempatku dan mengerumuniku seperti semut-semut menuju sarangnya membawa makanan. Aku kini melambung diudara.

“Bang! Kali ini siapkan gunting baru dan pangkas kami bulat-bulat!” sahut salah satu dari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar