Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Tanya padaMu

Bolehkah?
Jika yang membekukan itu adalah sesuatu yang kami tidak ketahui karenaNya, kemudian kami biarkan mencair dengan sendirinya?

Baikkah?
Jika kami ingatkan kemudian kami abaikan, karena kami telah berpasrah?
menertawakan kami selebat-lebatnya, mungkin karena kami tidak mengetahuinya atau kami sedang diuji.

Mampukah?
Jika dalam sesuatu yang besar kami dituntut untuk mampu lakukan
tapi kami tetap meradang.

Rumput yang tidak mempedulikan arah angin meniupnya.. pula akan menyuburkan ketika ia ditebas dan kering.

Banda Aceh, 30 Oktober 2013

Kusebut Kesetiaan

Ada sebuah kalimat yang memaksa jari-jari saya harus menari lagi kali ini. Meski sebenarnya dalam kondisi tubuh dan otak yang sulit untuk berintegrasi. Tapi saya akan coba merangkainya spasi demi spasi. Kalimat ini saya baca dari pesan yang dikirimkan seseorang yang juga merupakan inspirasi saya menuliskan artikel ini. Kalimat tersebut berbunyi,"Kesetiaan itu nilai hidup."
Menurut saya pernyataan di atas adalah benar. Tapi, herannya mengapa banyak orang yang membatasi arti kesetiaan menjadi lingkupan yang lebih sempit? Mereka memaknai kesetiaan tidak lebih hanyalah sebuah KEPEDULIAN atau  PERHATIAN. Apa yang dimaksud “peduli” di sini bukanlah peduli amal, dhu’afa, bencana, dan lain sebagainya. Tapi “peduli” dimana kita mau memahami, mendengarkan, memberi solusi orang-orang terdekat kita. Dan umumnya, mereka yang senantiasa peduli terhadap orang lain dianggap orang yang setia dan memiliki dedikasi tinggi dalam kehidupannya.
Tapi, saya pikir rugi sekali kalo kita hanya mengartikan suatu kesetiaan hanya dari rasa kepedulian, sedangkan kita mungkin bisa mendapatkan yang lebih berharga lagi. Nah, yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana jika suatu waktu atau bisa jadi dalam waktu yang sangat lama ada seseorang (misalnya ia sahabat dekatmu) jarang sekali atau tidak pernah menunjukkan kepedulian atau perhatiannya lagi kepadamu? apakah dengan begitu kamu langsung menilai bahwa ia sahabat yang tidak setia? Tentu tidak, bukan. Egois sekali rasanya jika kita menilai buruk sahabat sendiri sebab ia tidak peduli atau perhatian seperti dulu lagi.
Kalo saya bilang, kesetiaan itu ibarat meng-update status di FB. Ketika tulisan kamu telah ter-update, itu berarti akan ada banyak orang yang membaca status tersebut. Sebagian teman2 FB kamu pasti ada yang menge-like dan bisa jadi ikutan komen, dan sebagian lain tidak melakukannya meskipun sebenarnya mereka juga baca. Kemudian, kamu langsung menganggap bahwa mereka yang tidak like atau komen, tidak suka dengan status yang kamu buat atau memang tulisan kamu tidak berbobot. Tapi, Bagaimana kita bisa tau kalo mereka suka atau tidak hanya dari jempol atau komen "super sekali, muanthap, good, de el el" yang mereka berikan? Mungkin saja mereka like karna kamu pernah atau sering like status mereka, atau memang status-mu bagus lantas mereka pun meng-like-nya. Entahlah, itu hanya kemungkinan2 yang bisa jadi benar atau salah. Tapi, mereka yang tidak like atau komen, bukan berarti tidak suka dengan tulisan-mu. Padahal, jika saja kamu tau, selama ini ada teman2 FB-mu yang jangankan komen, kasih jempol manis aja nggak pernah, eh, ternyata diam2 malah mereka yang selalu up to date dengan your updated status. Dan kabar gembira yang tidak pernah sampai ke telingamu adalah, tulisan2 yang kamu update itu ternyata juga telah mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Masya ALLAAH! bukankah hal tersebut lebih berharga dan berpahala bagimu dan baginya daripada ratusan likes and comments yang kamu peroleh.
Begitu pula makna kesetiaan, kawan. Bila kita menilai seorang teman, saudara, atau siapapun tidak setia hanya karna ia kurang peduli, tidak sempat mendengarkan, atau menanggapi setiap permasalahanmu, maka kamulah sebenarnya orang yang sedang mengkhianatinya. Mengapa demikian? Ya, karna kamu hanya memikirkan kondisi hidupmu sendiri, lantas lupa bahwa temanmu itu juga memiliki kehidupan yang mungkin bahkan lebih sulit dari hidupmu. Sehingga, kadang kala membuat mereka tidak sempat (bukan tidak ingat) peduli, mendengarkan, atau hanya sekedar menanyakan kabar.
Oleh sebab itu, sekali lagi saya katakan bahwa benar adanya kalo kesetiaan itu nilai hidup, tapi tidak selamanya kesetiaan itu harus dibuktikan dengan kepedulian. Terkadang, ada moment tertentu dan karna faktor tertentu pula seseorang tidak bisa menunjukkan kepeduliannya padamu, tapi kita juga tidak pernah tau, bisa jadi dalam tiap-tiap uantaian do'anya senantiasa terucap namamu. Apakah suatu kepedulian yang kau inginkan lebih berharga daripada ratusan do’anya yang sama sekali tidak pernah kamu ketahui? Sebagaimana sebuah hadist yang sangat mengesankan, yang bunyinya:

Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu  tadi.” 
(Shohih) Lihat Ash Shohihah (1399): [Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal. 88] 

Maka demikian, mari kita pahami bahwa sebenarnya kepedulian dan perhatian yang kadang tergantikan dengan do’a merupakan wujud kesetiaan yang hakiki. Dan, beruntunglah kamu memiliki teman yang selalu mengingatmu dalam do'anya.

Tulisan sang Ibu Muda, SF

Menjadi Mudah Karena Fislosofinya

--- Menulis untuk mengingat ke sekian kalinya


Aku benar-benar yakin, saat ini mataku telah terbuka lebar. Perspektif belajar telah ku serap dengan sebaik-baiknya. Mungkin dahulu aku bermimpi menjadi manusia yang berharga jika andai menjadi bagian dari yang aku inginkan. Padahal nyatanya yang justru dijalani dengan tekun dan sebaik-baik mungkin akan menjadi berharga pula. Jangan biarkan masa yang berlalu meragukan masa depaan hingga yang engkau jalani saat ini memberi ketidakikhlasan sebagai predikat. Padahal nyatanya semua Tuhan (Allah) ciptakan adalah baik.

Membuka Ranah Filosofinya

Kita adalah manusia yang telah disabdakan oleh Tuhan (Allah) agar terus beribadah. Ya memang beginilah tugas kita, beribadah saja. Apakah belajar adalah ibadah? Tentu aku ingin mengatakan, "bukan!". Loh mengapa begitu? Ya kalau begitu, negeri barat juga belajar. Apakah negeri barat juga beribadah? Aku sedang tidak bermain-main loh. Apakah makan juga beribadah? Tentu bukan. Pada dasarnya ibadah adalah ibadah semata, demikian seharusnya. Sedangkan belajar, makan, minum, buang air kecil dan besar, berolahraga, berlari adalah kebiasaan. Hanya saja, Telah Tuhan(Allah) ciptakan dua potensi dalam manusia. Jika waktu kita tidak dihabiskan untuk kebaikan, tentu akan kita habiskan dalam keburukan. Lantas, Kebiasaan tersebut dapatlah bernilai ibadah. Menjadikan nilai ibadah tentunya selalu didasari doa saat di awal maupun diakhir. Niat yang ikhlas yang jalannya sepadan dengan jiwa saaat bergerak.

Aku tak jarang mendengar, mahasiswi kedokteran yang sedang praktik dalam suatu rumah sakit dan yang ia keluhkan adalah perlakuannya seperti buruh pembantu. Bahwa pernah pula seorang pemain sepak bola yang rela kehilangan kakinya saat di awal latihan belajar bermain sepak bola. Seorang dokter yang tekadnya besar mengahafal Qur'an dengan kefasihan adat setampat, yang setiap harinya menempuh sebuah pesantren di pedalaman. Padahal kiranya tempat yang sering ditempuh dalam perjalanan setiap malamnya adalah rawan pembunuhan. Bisakah pula engkau bayangkan seorang yang kehilangan tangannya seumur hidup hanya karena menjaga kelestarian suatu satwa di pemberdayaan yang langka? Apalagi jika engkau tahu hari ini ada seorang dosen mengusirmu dari sebuah ruangan dengan perlakuan tidak adil? Nilai E? 

Maka demikianlah sesungguhnya belajar yang harus kita tanamkan dalam persfektif kita.

Belajar yang bukan hanya sekedar predikat mendapat kelulusan tercepat atau jarang terjatuh serta tersandung oleh banyak hal, bermodal ilmu kampus saja, jarang membaca atau mudah mengeluh, tidak bergaul dengan teman-teman yang membuka wawasan, jarang berdiskusi dengan relativisme ilmu sehari-hari yang saling singkron dimana saja, gak gaul ah, dan ingin selalu terlihat perfect. Tapi, siapa yang tahu sih ilmu dalam lubuk masing-masing? Tugas kita bukanlah mengerjar-ngejar orang lain, tapi bagaimana bisa menguasai diri dengan banyak hal, penasaran dengan apa saja, dan mencari tahu tentangnya dibelahan dunia mana saja. Mucullah filosofi rasa tenang itu teman, belajar dengan mudahkan niat belajar itu sendiri. Belajar yang memunculkan keberhasilan itu bukan harga gampangan. Bahkan menguras waktu seumur hidup. Ini lah difinisi belajar sesungguhnya. 

Maka memperbaiki niat belajar tentu sangat diperlukan, niat karena ingin mendapat ridha dan ilmunya bermanfaat kelak bagi manusia. Doa memohon kemudahan yang tulus kepada sang Rabbi untuk menyerap ilmu dengan cepat juga selalu dipanjatkan. Terpenting adalah, meminta agar ilmu selalu di dada karena prestisenya menaikkan derajat disisi manusia dan juga Tuhan(Allah). Karena berilmulah memudahkan seseorang bertemu dengan rabbnya kelak, surga. Lantas karena rasa syukur yang selalu dipanjatkan dalam ilmuaNya yang tiada tara. Tiada yang luput sekecil apapun. Mungkin dengan niat bertemu dengan Tuhan kelak, kita akan menganggap rintangan belajar adalah sebagai sebuah tingkatan untuk naik dan terus berusaha.

Nilai atau prestise itu hanya penyemangat. Seperti dahulunya emas yang disertifikatkan dengan selembar uang. Begitu mahalnya sertifikat uang itu dahulunya menilaikan emas. Bukan lagi uang yang beredar banyak saat ini. Demikianlah, sebuah kelulusan terbaik adalah selalu disertai serapan ilmu yang bernaung dalam diri pribadi seseorang. Dengan menjadi seorang mahasiswa seharusnya bukanlah sertifikat kelulusan cumlaude yang akan selalu diperlukan, tetapi seberapa banyak ilmu yang telah diserap dan diaplikasikan. 

Dengan menjadi seorang dokter mungkin kita dapat menjadi koki masak handal, atau seorang peneliti yang juga dapat menjadi penulis novel terbaik dinegerinya, menjadi seorang teknisi juga bisa menjadi seorang klub musik atau menjadi seorang pendakwah yang bisa menguasai banyak bahasa dan mengelilingi dunia.

Belajar itu mudah karena memperlajari filosofinya.

Daun Pisang dalam Baur Cinta sang Ibu


Hanya kami manusia yang bergelantung di siang yang tiada pernah satupun tahu bagaimana nasibnya berada. Dengan tangan yang sangat ringan, tekad yang tiada meredup sedetik lamanya akan memberi arti menakjubkan di sepanjang masa kala itu. Jujur, Aku pun tahu bagaimana menjadi bagiannya dahulu. Melihat Ibuku menjual setumpuk kayu bakar untuk penghuni desa seberang. Kali ini mereka sudah jauh menjemput janji Tuhan.

“Ayahku tidak mampu, tapi tak bisa menjahitnya lagi, ini jahitan ke sepuluh, bagaimana kau bisa membalas jasa amakmu? Dan apa hubungannya dengan sepatuku?.”

Septi, bukan hati ini tidak paham maksudmu. Aku tahu bagaimana semestinya ibu mengisi detik-detik nafas kehidupan untukku, hingga aku bertemu dengamu dalam sebuah dimensi mudaku. Engkau sungguh mengingatkanku pada sosok kelahiran wanita yang kini tidak lagi bernyawa. Amak semua harapan.

Pisang yang cukup menambah berat, namun hanya lembaran yang tersisa untukku. Lembaran kayu dan lembaran daun sahaja. 
“apa ini bisa?” 
“bisa, yakinlah! Percaya saja lah, Allah akan menolongmu..” Aku meyakinkannya.

Maka dengan segenap tenaga, aku akan mengerti. “Anggap saja ini hadiah aku untuk mengingatkan jasa amak.” Walaupun setengah yakin ia tetap mengangguk. Kami akan segera menjajakkannya ke mana saja, agar temanku tahu bahwa betapa berharganya ia untukku.

Kami menjajakinya mulai dari pasar kelontong hingga pemulung. Semua orang kami tawarkan, hingga kami menemukan seseorang yang membutuhkan daun pisang ini sebagai lontongnya. Ya, tentu kami mengerti, tentu tidak semua jajakan kami berhasil dijual karena mungkin tidak semua membutuhkan apa yang kami tawarkan. Namun sayang, petir menyambar mengkilap selepas dari tukang lontong, hari seakan tidak seperti biasanya bersahabat. Kami terpaksa menghentikan penjualan dan berlari ke sebuah kios tanpa penghuni. Rumah kami pun sangat jauh dari tempat ini.

Hujan deras menghanyutkan kami. Tentu aku dan temanku terhenti menjual. Hujan lama sekali berhenti. Kami mencoba tertidur di kios, hanya sekedar menunggu hujan berhenti. Lantas, kami benar-benar tertidur. Oh Tuhan, mengapa barang kami hilang semuanya. Dahsyatnya, kami terbangun dengan hilangnya barang-barang jualan kami. Bagaimana ini? Kemudian temanku itu menemukan sepucuk surat di sakunya, segera ia merogoh sakunya dengan tangannya. Ia menemukan dua lembar uang merah dengan nominal lima angka nol.

“wahh... dari siapa ini? Ini lebih dari cukup!”
“benar, bukan? Apa kataku, percayalah pada pertolongan Allah.” Ia mengangguk-angguk.

Kami berlari-lari kecil sehingga tidak ada lagi yang harus kami lakukan selain membeli sepatu temanku itu, ya sebuah sepatu baru. Pasar baru yang telah menunggu di sore itu menjadi saksi Rahman dan Rahim Allah kepada dua anak manusia dengan keteguhan "mencari" sedikit rizki dengan cara yang halal.

Dua puluh tahun telah berlalu, peristiwa itu masih membekas dalam benakku, aku tidak membenci takdirku, bahkan aku amat bersyukur atas kejadian itu, membuatku lebih menghargai setiap langkah orang tuanku.

Dan tentu saja aku tidak akan menyuruh buah hatiku untuk melakukan hal yang sama sepertiku dahulu, hanya saja aku mengemasnya dalam bentuk yang lain.

Semoga setiap tetes keringat orang tua bisa dihargai oleh anaknya, walaupun tidak menginginkan balasan. Karena semua merupakan bentuk tanggungjawabnya kepada sang Rabbi, ditambah rasa sayangnya yang teramat sangat kepada mereka, hanya satu asanya ingin melihat anak-anaknya yang sholeh/sholehah.

Pelangi Untuk Ridha



Tentu, Aku rindu. Aku rindu kitab kuningmu, aku rindu senyum dan tawamu, dan sikap yang membuatmu tidak mengerti aku. Awalnya kita sama-sama tahu bahwa sejak lama aku bukanlah teman yang baik untukmu. Hanya saja kita sama-sama tahu, akhirnya kita dipertemukan untuk saling padu. Dahulu aku bersedih karena lantaran Tuhan memberinya melalui caramu, yang membuatku dan Tuhan (Allah) ridha akan persahabatan kita, mungkin pilu sebagai pengenal. Kini lebih baik mengenalmu.

Mungkin ini bukanlah cerita telenovela tentangmu yang berisi keteduhan pada janur hatiku, tetapi ini cerita apa adanya yang aku miliki tentang sebuah hikayat manusia. Meskipun Aku tahu Tuhan (Allah) segalanya bagi hatiku. Lantas mengapa aku tidak ingin mencintai sesuatu tanpaNya. Engkau seharusnya memang tahu tentang tragedi siapa pencengkram bumi dan keruhnya sebagian yang lain yang berada di atasnya. Kumpulan apapun tidak berarti kecuali satu, siapa temanmu.

Bukan.. Bukan.. Aku. Tetapi, janur hatimu. Dia membisik selalu. Kemana saja, engkau harus mengenalnya. Mengenalnya bukan dengan keseharian yang berilusi topeng pamungkas manusia bumi, tetapi ia terkadang sempurna bahaagia dikala engkau menjadi penyejuknya. Penyejuknya itu adalah apa yang seharusnya menghiasinya, amalmu kawan. Kesalihan akan membawamu sebening surga, lihatlah engkau akan seperti pelangi. Karena engkau mendengar bisikan kebaikan dan kecintaan hatimu. Tetapi, engkau akan tahu ketika hatimu binasa, kekacauannya yang datang silih berganti, hatimu digiring nista, kelumpuhannya akibat cantikmu tidak bersinggasana sedari biasa, engkau bahkan tidak mendengar suaranya, atau bahkan engkau mendengarnya, namun ia sakit lantaran bisa saja ia datang karena luka yang terlalu dalam, bukankah engkau tahu siapa yang mengaturnya?

Apa kabarmu yang sebenarnya adalah kabarku. Kabarmu adalah kabar seiring tragedi mesir kita. Kita akan bermain di surganya kelak jika kita percaya. Seperti mujahidin dan mujahidah. Jihad kita adalah birrul walidain, berbuat baik kepada orang yang menjaaga sedari kecil. Kemurungannya adalah cintanya kepadamu, biar hanya Allah yang tahu kebaikan dan dosanya. Semoga Allah menutupi dosanya dan mengangkat derajatnya dan bermain denganmu di surga kelak lantaran saling sebaya dan sama lah indah rupanya. Bukankah surga itu ada? Walau kesalahan sebesar bumi dan angkasa, walau ternyata kita terkadang tidak tahu apa yang hendak Allah beri di akhir ujungnya, tetapi percayalah dengan kekuatan ampunan dan doa selalu akan menyertai dirimu menuju ke sana. Begitu pula dengan Aku teman.

Aku tahu. Engkau yang merasakan cinta Tuhanmu yang lebih dalam sedangkan aku merasakan bagian cintanya yang lain. Mungkin esok atau lusa, pasti aku akan tahu. Namun, aku tidak tahu kawan. Berbahagialah, semua akan kembali. Ke surganya..... jihad seorang wanita adalah ibu. Ke surganya..... jihad seorang bidadari. Bukan perang yang utama, tapi ibumu yang tersisa. Begitu pesan nabiyullah yang telah tiada. Ajaklah ia bermain dalam taman surga. Memakai mahkota terbaik dengan hafalan dan pemaknaan kitabmu, yang selalu kau pegang bersamamu.

Maafkan, jika sesungguhnya aku ingin mengatakan, benar. Suatu hal akan reda, badai akan kembali cerah. Akan ada pelangi. Yaitu pelangi untuk ridha. Ridha, semoga engkau termasuk teman sepermainanku pula di surga. Untuk ridha, mungkin esok aku yang tiada. Semuanya butuh tersenyum karena ada pelangi setelah badai dan mendung di singgasana hatimu. Janji yang selalu pasti.


The palce that no eye has ever seen, the place that no heart has ever perceived. The place we've been promise to live in forever, the best of all. Paradise..Maherzain

 we'll be there together soon, to meet your father with pleased be upon.


Quu Amfusakum #PenaKamiTidakPuasa


Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras, lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(Qur’an Surat 66 (At-Tahrim): ayat 6)


Bagaimanapun jua, dikala kita merasakan aman. Ada banyak kata yang harus terus dihujamkan hingga hati terkadang terasa begitu tergerus dan haus. Ada masa dimana selain menyambung wajah untuk saling bertatap, perlu memikirkan bagaimana kita bisa memiliki hati yang nyaman bersama saudara yang dapat saling mengingatkan. Adapula keinginan nyaman bagi kita itu, membuat saudara kita ingin memutuskan jabatan tali kesetiaan persaudaraan kala kata tak bisa mewakili walau hanya doa.

Jika kebiasaan telah menjadi biasa dan menimbulkan salah, terkadang ia tertutup serapat-rapatnya. Karena terdapat sebuah ibarat yang yang dituturkan,

Jika tapak kaki kita sudah keras, pijak paku dan duri pun tidak terasa apa sebab tumitnya sudah keras. Tapi kalau tapak kaki lembut, terpijak duri sedikit saja sudah berdarah. Demikian jugalah hati, kalau ia sudah keras tak terasa lagi bersalah jika berbuat dosa. TG Nik Abdul Aziz

Kita yang selalu tahu bahwa tak semuanya mampu dengan tindakan yang preventif dan saat kita tahu bahwa kita disisi yang lemah, akan ada selalu langkah yang ingin disampaikanNya untuk menengadahkan tangan. Menengadah meminta sedikit atau banyak. Ia tentu menerima. Begitulah ketika tak mampu.

Terlepas dari itulah, cintamu akan selalu ditagih olehNya. Cinta pada sanak saudaramu, sanak familimu. Cinta yang selalu dipertaruhkan paling utama. Jika ia maksum berbuat maksiat, kala ia keras bagai tapak kaki yang telah terbiasa. Selamanya adalah tugasmu, walau hanya tinggal doa kala itu. Karena banyak yang berpeluh soal kesanggupan dan kelelahan. Sanggup hingga terlalu dina dimata sanakmu sebab seolah mengkafirkan perbuatannya, lelahmu hingga kita kelak membiarkannya tenggelam dalam dalamnya semburat api nyala.

Lantas apa?

Quu Amfusakum.. Jagalah keluargamu, wa ahlikum naaraa, dari api neraka. Sejak dahulu engkau bersamanya dan berlalulah susah beserta senang bersamanya. Aku ingin selalu cukup menasehatinya tiga kali. Tapi, Tuhan katakan tidak. Bagaimana rasanya jika engkau disurga disaat bahkan sanakmu tidak ikut masuk bersamamu? Ia tenggelam dalam keniscayaannya yang begitu menydihkan, apakah ia ayahmu? Ia dahulu memberi azan di telingamu yang paling kanan dan menafkahi ragamu agar engkau menjaga ruhmu, atau ibumu yang jasanya melahirkanmu tidak sebanding dengan kebaikan dalam bentuk apapun, bagaimana jika ia saudara kandungmu? Yang menghabiskan waktu untuk saling menjaga, membantu ibu ketika susah memeliharamu sedari kecil, membantu mengerjakan tugasmu, dan memberi pelipur rasa bahagia dalam pertemanan siang dan malam. Lalu, meninggalkannya dalam bahaya?

Jagalah keluargamu. Ialah harta yang kau temui didunia, harta yang dititipkan. Engkau memilikinya. Sebagaimana engkau takut dicampakkan ke dalam siksanya begitulah seharusnya engkau mencintai saudaramu. Tariklah ia ke pangkuanmu.

....................... #PenaKamiTidakPuasa


Al-Qur'an sebagai perisai, ibarat madu yang  termanis daripada madu Zainab, syair yang tidak ditemukan lebih indah selainnya, as-syifa bagi hati -hati dan jiwa-jiwa yang mulai durjana, sempit, dan terhimpit. Dia lah pembuka rasa hampa menjadikan bahagia dalam denyut dan air suci. Air suci  yang syahdu menemani lantunan dan damai menyertai. Duhai Allah. Bagaimana aku mendustai surat cintamu?

Demi namaKu (Engkau berkata), "Bacalah". Aku mulai membacanya sedari hati mengetuk. Duhai hati diliput damai, perlahan ku dayuh makna yang sempurna. Di sana ada harapan terbaru yang sekejap masuk dan mengubah letak. Aku melihat padang yang luas, tempat berkumpulnya para keluarga-keluarga Allah di bumi. Di sana aku menemukan semuanya berdiri menghadap Allah yang pengasih, Tuhan segala ciptaan. Semua yang dirasa merasuk malu, terjamah sesal hebat. Pecahlah pula sesak tangis seakan hati ihsan, melihatmu sedekat yang melebihi urat nadi. Membayang sisa-sisa lama yang enggan, kini dengan menjamah ayat "Bacalah", Engkau(Allah) berkata. Kemudian bulir air terjatuh. Allaahhh.... Allaaaahh... ya Kabiiirrr...

Kemudian aku buka segera, aku lantangkan tangan menunjuk, kaki yang terhimpit dan tumit menghitamkan dirinya, ku buka mata selayaknya ingin segera, lembar tergegas, semakin bergegas, semakin mengalun deras, semakin kuat kubuka, ketukan.

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat menguasainya." Al-Qiyamah: 16

Hatinya manusia yang melambung di atas tubuhnya. 

Menata Ulang Mimpi #PenaKamiTidakPuasa

Mereka yang tahu bahwa mereka memiliki mimpi, berbahagialah karena berhasil merencanakannya. Karena ada banyak di dunia ini mereka-mereka yang juga berniat memiliki mimpi atau hidup tanpa mimpi. Mereka yang ingin membayar mimpi, mereka pula yang berjuang dengannya. Mereka yang memiliki mimpi yang terus berikhtiar siang malam. Mereka yang memiliki mimpi akan merasa hidupnya terlepas dari lara hilangnya panca penunjuk untuk pergi, pulang dan membawa saat berhadapan, memang bermimpi akan menjelaskan detial bagaimana perjalanan hidup yang akan segera dilewati. 

Maka ada yang menuliskan mimpi mereka dalam sebuah buku yang ia tuangkan dengan penanya akan memiliki arti sepanjang masa. Mengingat mimpi selama mudanya walau hingga tutup usia ternyata mimpi itu nyaris tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Mempunyai buku dimana menulis mimpi-mimpi adalah hal yang paling ajaib dilakukan oleh pejuang dunia.

Mereka yang menulis mimpi-mimpi mereka yang tidak boleh terlewati begitu saja. Mimpi-mimpi mereka yang tertulis akan terus menjadi saksi dibandingkan mimpi yang hanya terpikir saja dalam ingatan yang juga akan cepat melupakan mereka. Hebatnya buku mimpi akan mengingatkan seberapa banyak ketunaian kehidupan yang terlaksana, yang memberi kelegaan hingga menjadi cerita-cerita hebat kepada keturunannya dan lapis langit ke tujuh. Menjadi cerita doa para alam dan kesaksian ikhtiar para pemiliknya. Bahwa alam ikut berdoa, alam akan mendengar mimpi-mimpi kita.

Bergegaslah bermimpi!
Tulislah mimpimu!

Karena jika esok mati. Engkau menjadi orang yang terkaya karena misi mimpimu. Walau bermimpi membangun rumah semut. Walau mimpi itu cukup ditertawakan. mengapa rumah semut? Membuat derai setelah berpuluh tahun lamanya tidak akan menjadi alasan menyerah. Tidak membuat gentar dengan kekecewaan yang silih berganti. Rumah semut yang diciptakan untuk berperang di Jalan Tuhan. 

Namun, jika berikhtiar dengan mimpi-mimpi yang sangat sulit Tuhan menerimannya. Maka saatnya menata ulang dengannya. Karena kuasa mimpi tidak dapat mengalahkan rencana yang tidak akan pernah sekalipun yang tahu bahwa anak desa menikahi putra kerajaan. Begitupula yang dimaksudkan Tuhan agar menata ulang mimpimu sesuai dengan yang Ia inginkan.

Menata ulang mimpi-mimpimu menjadi lebih mulia, menatanya kembali dengan doa. Memantapkannya dengan ikrar atas kehendaknya. Karena dengan demikian mimpimu akan terasa dijuangkan. Ah, jika bukan karena nanti engkau telah lelah berjuang mungkin keturunanmu akan meneruskan ikrar tulusmu. Karena menjadi bagian dari patuh dan taat adalah pejuang mimpi sejati.

Biarlah tangis menggenggam jari dan dukamu, tetapi menangislah karena kebahagiaan, berbahagialah karena tidak menjadi orang yang celaka dan berputus asa atas ketentuanNya. Karena Tuhan telah sejak lama menetapkanmu fi lauhim mahfudznya dan menetapkan cintanya pada kitab terbaik atas urusan anak manusia dan seisinya. Karena mungkin sehelai daun yang jatuh juga karena atas keinginanNya.

Aku yakin bahwa mimpiku juga dalam genggamannya. Biar ratusan mimpi terencana dan terabadikan dalam catatan. Tetap aku ada didekatNya. Maka perjuangan hebat akan selalu terbayar lunas, dan itu selalu menjadi kekuatan setelah lelah dirasa. Walau lelah dirasa dan tidak kunjung menjadi yang diharapkan, tetap kelelahan atas perjuangan akan menjadi saksi perjuangan. Duhai Tuhan, izinkan.

Sesungguhnya di antara mimpiku terselip namamu yang terus aku tata dan mengulangnya, untuk terus memperjuangkan bagaimana menjadi orang yang paling bahagia dan menjadi pejuang atasnya. Kini disini aku akan terus menata ulang mimpiku, dengan nama pejuang. Duhai Tuhan, izinkan.


Banda Aceh, 29 Juli '13 #ZonaHidupResist



Ada Anggur di dalam Daun #PenaKamiTidakPuasa



Saat kami disibukkan oleh dunia bedah hewan dan tumbuhan. Mungkin saat itu kami tidak sedang berpikir mengapa ini dan mengapa itu. Karena jika saja kami menanyakannya, kami takut seolah meragukan ciptaannya yang tak terbantahkan. Tentu yang dimaksudkan Ia lah teori pencipta. 

Tentu sesuatu yang terjadi adalah tidak terjadi dengan sendirinya. Semua yang berada didunia adalah hasil kreasi atau ciptaan. Seorang ilmuan George politzer mengungkapkan bahwa, 

"Alam semesta bukanlah sesuatu yang diciptakan," dan ia menambahkan, "jika ia diciptakan, ia sudah pasti diciptakan oleh Tuhan dengan seketika dan dari ketiadaan."

Merupakan argument yang sangat membantah eksistensi ketuhanan. Bagaimana kiranya meragukan kehadiran ciptaan kalau bukan ia datang dari seorang yang mempercayai ketuhanan? Tentu tidak mungkin seorang yang mempunyai ketuhanan tidak setia. Hanya yang tidak bertuhan mampu menggulingkan sebuah patahan argument  hebat dalam sejarah ilmiah sepanjang abad.

Kemudian ada banyak yang mencoba-coba eksperimennya dengan sesuatu yang tidak dapat dicerna secara akal sehat, mencoba-coba, dan menyimpulkan sebagaimana akal tidak mampu menjangkau. Teori Abiogenesis Generatio spontanea  yang dibawa oleh seorang Aristoteles bahwa kehidupan terjadi secara spontan, telur-telur ikan menetas, namun ikan yang melahirkan telur sudah ada sejak dahulu hidup seketika di dalam lelumpuran.

Argument-argument tersebut adalah umpamaan yang dibuat oleh ilmiah tak bertuhan. Bangaimana mungkin setiap dari kita akan terus mempertahankan kehidupan yang berasal dari keturunan?
seseorang bertanya,

"Kamu anak siapa?"
"Aku anak ayah dan ibuku," ia bertanya
"Ayah dan Ibunda kamu anak siapa?"
"Ayah dan bunda lahir dari kakek dan nenek,"
"Kakek dan nenek kamu lahir dari siapa?"
"Dari buyut,"
"Buyutmu dari siapakah lahir?"
"dari buyut-buyutnya..."

omne vivum ex vivo, semoga teori kehidupan berasal dari kehidupan tidak lagi menjadi dogma ilmiah yang diterima karena sesungguhnya telah jelas penciptaan manusia dan seisi bumi yang menanunginya adalah penciptaan yang maha kuasa.

Semoga Stanley Miller tidak lagi menjadi panutan ilmu dunia ilmiah bagi masyarakat umum maupun saat dogma itu diterima Sekolah menengah Atas bahwa manusia berasal dari material organik CH4, H2O dan lain-lainnya saat dikejutkan oleh listrik dan kemudian muncul materi hidup. Sebuah buah pikir yang tidak dapat dimasukkan dalam alam bawah sadar bagi mereka-mereka yang mempercayai Tuhan.

Dengan demikian, adapun pengabadian cerita singkat ilmuan telah membawa sedikit lekatan hebat dalam memori. Saat itu memang tidak banyak yang menghiraukan mengapa demikian hebatnya ciptaanNya. Duhai, di dalam daun itu ada sekumpulan anggur yang menggantung. Bagaimana anggur dapat menjadi buah yang tersangkut dalam struktur sekecil potongan daun yang mungkin tidak kutemui potongan itu sebesar semut merah, tipis sekali. Akan tetapi, anggur mampu dilihat perisai indahnya dalam pembesaran objektif 10 x 40. Ficus elastica. Pohon karet hias yang dahulu menjadi penghasil karet. Daun yang besar menyimpan teka-teki kecil yang akal manusia pun tidak akan mampu sedikitpun menjangkaunya. Tentu penciptaan anggur di dalamnya tidaklah diperuntukkan bagi mereka para kaum yang mendustai kuasa dan Tidak mempercayai eksistensi Tuhan semesta alam.

Betapa ratusan ayat digilirkan dalam kitab suci Al-Qur'an mengenai penciptaan. Merupakan tanda kekuasaan yang tidak diragukan, "Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS. Al An`aam : 73) 

Lontong Tungku Api #PenaKamiTidakPuasa


            Saat lebaran tiba, ada hal menarik yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang dirumah kami. Karena setiap lebaran mucul saya kerap menemukan sanak tetangga seberang kampung yang asing ikut bersilaturahmi ke rumah kami. Setelah bertanya-tanya, ternyata mereka memang sanak famili jauh dari ayahanda. Saya saat itu sedang menonton televisi di ruang depan dan ketika menuju ke belakang,
“Wahh.. Lontong yang disediakan tadi pagi kok cepat sekali habisnya?” tanyaku pada Ibu yang sedang mempersiapkan lagi lontong yang tersedia di dapur.
“Ya.. diserbu dong sama tamu seberang Meunasah Pante!”
Dibalik tidak kenalnya saya kepada mereka, saya turut bangga. Mungkin saya sedang tidak puas-puasnya berpikir, bagaimana mereka tahu kalau di rumah kami menyediakan lontong tiap tahunnya? Sebenarnya memang tidak jadi masalah karena biasanya kami memasak lontong dalam jumlah yang banyak. Tentu ini sudah menjadi tradisi, tiap tahun ibu mengukusnya dengan berbambu-bambu nasi dan  memasaknya dengan alumunium berukuran sebesar ember cat.
            Tentunya saya turut andil dalam pembuatan acara tahunan ini dan menjadi koki pemantau api tiap tahunnya. Andai ada banyak saudara kandung saya yang tidak sibuk diluar rumah, ia akan turut membantu, ah sayangnya kegiatan ini seolah-olah semua tangan tertuju padaku.
            Kalau ayahanda tidak terlalu sibuk, biasanya ia akan membantu mencari pelepah pisang dari kebun yang daunnya besar-besar. Daun ini biasanya akan menjadi bahan dasar pembungkus kukusan lontong. Berpuluh bungkus kukusan beras dikaitkan dengan lidi atas dan bawah daun. Setelah selesai, Ibulah yang akan menjadi bagian pengatur dan penyusunan letak di dalam panci besar alumunium itu.
            Terlepas dari itu semua, saya turut menjadi anak bawang untuk mengangkatnya menuju belakang rumah kami, dimana ada banyak kayu kebun yang ditebang, kayu bekas pembangunan dan tidak lupa batok kelapa kering. Tiga bahan tersebutlah yang akan menjadi pemicu pembakaran lontong di atas tungku. Loh kok batok kelapa bisa? My dear, batok kelapa ini lah yang pada dasarnya yang menyembabkan semburat api menjuntai ketika api beranjak mati. Tidak mengerti pula bagaimana detilnya, tetapi yang jelas batok mengandung minyak.
            Begitulah tugas saya sepanjang hari, memantau api di belakang rumah dalam kegiatan annual sepanjang kebahagiaan Lebaran. Memasaknya tentu menguras tenaga, selain harus selalu memasukkan batok kelapa ataupun kayu dalam tungku berulang-ulang, saya juga harus melihat ketersedian air yang digunakan untuk merebus kukusan. Jika tidak? makanan tidak akan masak dong! Tentu air perebusannya harus diberi berulang-ulang pula ketika ketersediaannya habis.
            Selain itu, memasaknya membutuhkan 9 sampai 10 jam. Jika memasaknya jam 10 pagi, aku harus memantau masakan ini hingga larut malam. Acapkali mukaku menjadi memerah kegelapan, seharian bermain dengan api dan asapnya. Jika bukan memasak dengan waktu yang sepadan, lontongnya tentu akan amburadul. Hal ini pernah terjadi pada beberapa tahun silam, lontong menjadi terlalu lembek karena tidak bagus penjagaannya atau terlalu keras karena melewati batas ambang pemasakan. Sebenarnya kebutuhan 9 sampai 10 jam pemasakan hanyalah prediksi ibu yang terkadang dapat berubah menjadi beberapa jam lagi jika api rentan mati dalam tungkunya karena tidak terlalu dijaga dengan baik.

            Tepat pada waktu yang sangat larut kami mengangkat lontong dari tungku dan ibu telah mempersiapkan lauk yang bertemankan tauco cabe hijo dan aneka macam daging. Keesokan paginya usai Shalat Idul Fitri, rumah kami memang benar-benar diserbu, bagaimana tidak, rumah kami terletak di depan masjid. Tidak salah juga ya lontong kami terkenal dan dilahap warga kampung serta sanak famili setiap tahunnya, pikirku.

Petuah #PenaKamiTidakPuasa

Syukur pada penciptaanNya, atas darah yang paling pekat, yakni hati. Memang menemukan sesuatu yang lebih besar dari biasanya dan lama sudah menanti kabarnya. Sejak kecil aku hanya mendengar cibiran orang-orang, namun kali ini aku benar-benar menginginkannya. Inilah sebab mengapa saudari lelaki tertua di rumah kami telah disekolahkan terlalu jauh, tetapi aku tidak mengerti mengapa aku tidak mendapatkan seindah pemikiran sang orang tua kepadanya, terlepas aku adalah seorang perempuan. Memang dahulunya aku tidak turut mengerti lantunan semua jenis irama yang di putarkan dalam radio terbesar milik ayahku. Aku pula tidak mengerti mengapa buku-buku lama bertuliskan Arab tersimpan dalam lemari lama yang cukup memanjang ke atas dan terselipkan satu buah boneka kecilku berwarna kuning.

            Guruku berpesan, "Seharusnya kamu lebih dulu mengutamakan hal selangka ini, beruntunglah hatimu terbesit hal yang sedemikian rupa indahnya dan Allah telah meletakkan kesempatan indah itu kepadamu. Maka dengarlah, yang lain dapat disusul setelah perjuangan hebat ini, tahanlah hawa nafsu, semoga engkau mendapatkannya." Hatiku juga ikut mengangguk.

            Sejenak dalam ruang waktu yang sangat begitu sempit, kami disempatkan untuk bertemu dalam pandangan air yang mengalir, taman sekeliling masjid Ibnu Sina. Tempat dimana masjid ini menjadi Tuan kakiku berpijak pertama kali saat aku bertemu dengannya. Landskap yang dicaripun begitu berlimpah ruang kemenangan, taman air mengalir dimana seorang atau banyak tubuh yang menyaksikan akan menangkap memori-memori yang sedang direncanakan untuk melekat. Aku baru tahu beberapa waktu lalu bahwa Ibnu Sina adalah seorang dokter, secara fenomenal ku tahu bukunya marak disebut The Qanon tak lepas pula dari ingatan bahwa ia juga Penghafal penceriteraan kitab islam. Di tempat masjid Ibnu Sina itu pula aku jatuh hati pada guruku.

            Bagaimanapun rencanaku akan sangat berat dan mengamukkan pikiran. Sesungguhnya ini benar-benar tidak semudah yang aku bayangkan sebelumnya. Mungkin dalam benakku awalnya Aku hanya akan mampu seperempatnya seumur hidup. Namun, guruku membawaku kedunia yang semestinya aku pikirkan. Mungkin ini soal niatnya atau ini soal kekuatan semangat itu sendiri yang harus ditata ulang.
“Dahulu saya mencoba membela diri siang malam memperjuangkannya. Tidak punya alasan untuk terdiam sedari malam. Hingga desir, ringkik kuda, dan pak kusir. Bahkan pembunuhan turut terjadi malam itu. Anak mudi yang kuliah dan dimutilasi seluruh tubuhnya, pelakunya jelas bukan orang waras, paling-paling orang gila yang lepas dari terali.” Aku terdiam dan mendengarkan

            Guruku kemudian menatap mataku lama. Ada yang ingin ia yakini, tetapi terdiamnya membuatku juga merasa ingin melihatnya lebih dalam. Aku tatap matanya yang bulat. Duhai ada apa guru, apa yang terjadi. Aku lepas dari matanya seketika melihat tempat lain sambil tetap terdiam.
“Bayangkan saja, nyai bahkan pernah menyuruh saya untuk diantarkan oleh seorang lelaki kepercayaannya untuk mengantar jemput sejak peristiwa bengis itu. Takut Saya celaka, namun saya tetap menolaknya. Saya ditemani kusir lepas pukul Sembilan malam.” Aku bukan tidak percaya guru, aku hanya ingin terus menyimakmu, dan aku tentu bukan dirimu. Aku meyakini diriku.
“Di tempat itu pula setiap saatnya saya harus berjalan sambil jongkok sebagai adat penghormatan, begitulah ketika saya bertemu para nyai saat ingin menyaalurkan hafalan, sulit ketika jarak jongkok sambil berjalan harus dilakoni setiap kali akan menyimak bacaan olehnya, tentu bukan saya saja, jadi memang harus menerimanya.”

            Beberapa hari selanjutnya kami kembali bertemu muka, tepat pelantaran taman dan kantin rumah sakit. Sesungguhnya disaat itu pula muncul cerita yang amat sangat sederhana. Aku mungkin tidak begitu jemu memikirkan saat sang guru tidak makan saat itu, tetapi aku menjadi lapar disaat orang lain tidak memikirkan makan, aneh bukan tidak, tetapi hanya sedikit menuai malu. Ia menghabiskan dalam satu saat menuju perjalanan sebagai pembedah tanpa tidak ingat bahwa ia juga harus mengisi perutnya. Bukankah ia pula seorang pemikir? Seorang pembedah? Seorang yang memikirkan bagaimana juga turut belajar? Menjadi guru terbesar bagiku, bukan pula harus aku lebih-lebihkan, sesempurnanya.

“Guru bebas, mau makan apa saja! silahkan! Saya senang jika hari ini guru makan bersama saya.” sang guru tersenyum dan memilih posisi duduk. Ia memilih duduk bersama pula seorang dokter yang telah menamatkan studinya ke Jepang. Mereka sangat akrab, seakan sebaya bahkan berbicara dalam bahasa Jepang. Ah, naïf sekali. Aku hanya terkesima, tidak berani menyimpulkan apapun, karena aku tidak mampu berbhasa Jepang. Sungguh sempitnya ilmuku.

“Beliau ingin memanggil saya dengan sebutan kakak, lantas saya tidak mengizinkannya kecuali ia ingin bercakap Jepang dengan saya.” ucap guru. Aku takjub. Terakhir aku mengetahui guruku menguasai bahasa dunia lainnya, German, Perancis, Inggris, dan Arab. Oh Tuhan. Aku semakin tersipu. Aku merasa duduk dalam kolong jembatan, melihat air mengalir.

            Aku mulai kembali mencerna kalimat-klimat perjumpaan singkat dengannya saat bertemu, sambil mengangkat makanan dengan tangan, melahap kuah kari dengan sepiring nasi. Ah, ini lagi-lagi soal niat. Lagi-lagi niatnya dan semangat yang harus dibangun. Banyak perempuan jawa yang meniatkan hafalannya hanya gara-gara ingin mendapat suami penghafal dan nyatanya hanya menghafal 2-3 juz. Lagi-lagi, kalau ingin mengingat ayat-ayat hanya untuk sekadar mengajari anak kandung mengaji, juz ‘amma sudah cukup. Mungkin yang meniatkan untuk hanya menjadikannya politik beasiswa keluar, saat itu pula terpikir untuk menghafal kitab suci mereka, sebelumnya? Bahwa lain halnya ketika sebuah mahkota dan pakaian surga ingin ditancapkan kepada ibu dan bapaknya. Niat mungkin dapat diperbaiki nantinya.

            Guru kini didatangi dokter muda saat kami makan dan berbicara soal resep yang harus segera dikonsumsi pasien dan mencatatnya.
“bla.. bla.. bla... segera! Check, tolong katakan kepada lainnya.. bla..bla..” aku terkesima sambil menghayati kembali sesuatu. Ini soal mengenang sang guru.

            Bayangkan saja, aku hanya tersadar ketika aku berjumpa dengan sosoknya. Suatu memori yang telah tercuri lama tidak dikenalkan dan kembali terkenang serta mencari daya ingatan. Achmad di Pante, Kakekku. Wajahnya saja tidak pernahku lihat. Aku ingin ia megitari sepeda dan aku duduk dibelakangnya. Membawa aku berkeliling dan meniti tangga masjid yang pernah dihancurkan berkeping-keping oleh Belanda dan kini berada dipusat kota. Kembali ke sana melihatnya menjadi imam dan shalat dibelakangnya. Sungguh andai-andai yang sudah tidak dapat dibiaskan pelupuk mata. Perjumpaan hanya sekadar berita. Bukunya telah menjadi kenangan dalam lemari yang sungguh sangat panjang itu.

            Seorang putera Aceh yang sempat mengayunkan negeri jawa ke puncak tenarnya, mengemat pendidikan pesantren, seorang penghafal dan qori Aceh yang membawa nama jawa terdepankan sebagai musabaqah nasional, ya bukan bahkan membela Aceh saat itu, ia saudara lelakiku. Mungkin cukup melukiskan, mengapa seharusnya aku pula mampu. Ah, kenapa sekarang baru saja aku seperti akan diingatkan kembali kejayaan pada suatu masa.

            “Begitulah seharusnya, pesan awalnya. Jagalah hati. Sejak awal telah menjadi saksi, sudah tertuliskan bahwa kita akan ditemukan sejak lama.” Guru tersenyum ketika hayatanku menghadap seorang lelaki, dokter muda yang berbicara kepadanya, “tidak banyak pemuda yang dahsyat didunia, semua ketaatan banyak diambil oleh para tetua di masjid. Apakah dokter muda tadi cukup membuatmu antusias?” aku terkejut dan beristigfar.

“Guru, sungguh perkataan guru lebih benar atas apa yang saya lihat!” aku mengakhirinya sembari mengajak guru kembali untuk menyimak ditaman.


Menjemput Teman Sepermainan #PenaKamiTidakPuasa

            Sejak dahulu aku memiliki beberapa teman, Banyak sekali. Tetapi, teman ini yang memang belum aku kenal. Ia datang cukup jauh, kecepatan geraknya ibarat kecepatan cahaya pada supernova digelapnya andromeda. Bahkan mungkin lebih cepat dari cahaya itu sendiri. Ia datang dan menemani hari-hariku. Padahal aku tidak cukup mengenalnya. Ya, benar ia temanku, kata ayah dan ibu. Tapi, belum apapun ia sudah menceramahiku, ah apa pula dia. Ini tentu tak bisa dibiarkan. Aku mulai membencinya saat itu juga, entahlah aku tidak mengerti siapa dia. Teman macam apa dia? Tapi melihat aku membiarkannya, ia semakin sendu  dan pilu. Ia kemudian menangis bahkan tangisnya tidak punya nada sedikitpun. Tidak seperti manusia normal lainnya, hanya saja ketika itu aku melihatnya menangis hanya untuk melihat air bening yang setetes demi tetes jatuh. Sama sekali bukan suara.

            Kemudian aku kembali mendekatinya lagi. Karena tidak mungkin aku melihatnya menangis hanya untukku, bahkan lebih dari yang seharusnya. Benar, ia tidak berhak menangis untukku. Aku mencoba mendekatinya lagi, ya aku berdamai. Aku ingin menjadi temannya. Kemudian aku dengannya terbentuk tali kasih yang erat, ia memberi sesuatu pertanda untukku dengan sangat hati-hati. Ia memang membuatku pantas menjadi temannya, karena ia lembut, suci, ia ingin menyertaiku selalu. Saat itu pula aku menyadari ia memang dititipkan untukku. Aku tidak pernah mendustai itu, bagaimanapun semua jalan ia arungi untukku. Ia memang cantik luar biasa. Ketika Aku mencoba menjelekkan teman yang lainnya, ia datang untuk memberi sesuatu yang selalu  berbeda. Namun, aku jarang sekali mengerti. Meskipun aku kini sadar ia temanku.

            Ia memang teman yang setia. Ia memberi sebuah ingatan menempuh doa-doa saat saraf menjadi ngilu di atas kaki, batang tubuhku, dan saat batang leher mulai kaku. Maka tiap aku akan makan, aku dianjurkan jangan lupa menghindar siksa ‘an-naar’ dan kemudian meminum dua teguk dengan hikmat. Ketika aku menuju rumahnya para tanduk yang membenci manusia, ia juga mengingatkanku kembali bahwa di dalamnya terlalu busuk tanpa memanjatkan sesuatu. Mengingatkan kembali bahwa penuh manusia memenuhi rumah pencipta tanpa mengharap ridha di awal pintu perjumpaan. Menuntun mata untuk melihat pemiliknya saja. Ia kemudian hanya ingin aku mendengarnya lebih dalam dan iapun menjadi pendengar yang baik saat aku merasa sempit, menggait kaki berjalan hingga menuju arahnya,  hingga pada perjalananku itu aku telah dibuat olehnya untuk tidak terlepas dari genggamannya sedikitpun.

           
            Aku ingin sekali menamparnya, apakah ia cukup hidup atau ia hanya teman yang mampir singgah. Ya, Aku menamparnya. Kemudian ia menamparku kembali lebih sakit, ah. Ia murung saat itu, Aku memangis. Tamparan kami sama-sama menuai perih. Kemudian aku kembali memeluknya, meredakan sakit kami. Duhai teman, aku ingin menjemputmu setiap saat hingga dirasa tempatku cukup menjadi tempat bermainmu. Hingga sampai Tuhan bertanya, siapa temanmu nanti saat ruang semakin gelap? Ia duhai Tuhan,(aku menunjukmu), Hatiku. Ia petunjuk Amalku selalu.

Projeksi dan Peduli Lingkungan #PenaKamiTidakPuasa

Terlepas menjadi seorang peneliti, saya yakin sekali ada  lebih banyak peneliti lain yang sangat hebat dalam penelitiannya. Sesungguhnya setiap manusia adalah peneliti. Ketika seorang peneliti diacungkan untuk maju dan angkat tangan, jelas semua peneliti di dunia mana saja turut andil. Salah satunya adalah peneliti lingkungan masing-masing dan ia sangat ingin peduli dengan lingkungannya. Tentu menjaga lingkungan bukan hanya tugas seorang calon peneliti yang kuliah diperguruan tinggi keilmuan, melainkan menjaga lingkungan adalah tugas makhluk khalifah di muka bumi. Setidaknya seumur hidup kita telah menjadi peneliti bagi hidup kita sendiri.

Ini cerita tentang lingkungan kita semua dan segelintir perlakuan kami sebagai peneliti. Beberapa waktu lalu kami diharuskan membuat sebuah projek lingkungan untuk memenuhi tugas mata kuliah kampus. Projek ini bebas dan tentu tidak dilakukan sendiri-sendiri. Saya waktu itu terpilih oleh banyak lelaki dan menjadi salah seorang wanita dalam kelompok mereka. Mereka merasa projek ini sangat tidak berkenaan dengan jurusan mata kuliah mereka yakni matematika. Saya pun turut andil dan mereka pula sangat kritis. Pada Prodi semester 2, setiap dari mahasiswa mipa masih mendapat pengaruh mata kulaih paket MKU. Kebebasan ini membuat kami bingung harus mengangkat tema apa dalam realisasinya. Untuk itu, kami mengangkat tema yang sangat sederhana sekali yakni menanam pohon jabon dan sengon.



Tentu penanaman pohon jabon dan sengon adalah langkah sederhana yang dapat dilakukan dalam menjaga lingkungan. Pohon Jabon Neolamarckia cadamba telah menjadi sasaran diberbagai lingkungan sebagai pohon yang sangat ramah serta memiliki banyak kelebihan. Pohon ini adalah jenis pohon yang amat cepat proses pertumbuhannya sehingga bagi para pedagang kayu, kayu akan mudah ditebang dan diproduksi dalam kurun waktu yang singkat yakni kurang lebih 4 tahun. Belum lagi kelebihannya yang merindangkan yakni daunnya sangat lebar yang secara biologi penyerapan CO2 yang menimbulkan panas selama ini, dapat diserap baik oleh daun tersebut dalam kapasitas yang lebih besar pula. Tentunya kelebihan lain dari jabon tersebut yakni daunnya yang tidak lezat bagi para mamalia seperti kambing, sapi, dan lain-lain sehingga tidak mudah dimakan apabila ditanam dalam pekarangan.

Posisi yang diambil dalam penanaman ini yakni bersebelahan dengan kantor Badan Eksekutif Mahasiswa MIPA. Pengambilan tempat ini tentunya didasarkan atas kosongnya lahan sehingga sangat mendukung apabila ditanam.





Lain halnya Sengon, Sengon adalah contoh lain dari Jabon. Pohon ini secara ilmiah dikenal sebagai Albizia chinensis adalah sejenis pohon anggota suku Fabaceae. Dedaunan yang dimiliki sangat erat dengan kemiripan pohon Asam dan Pete. Pohon peneduh dan penghasil kayu ini tersebar secara alami di India, Asia Tenggara, Cina Selatan, dan Indonesia. Tujuan yang menunjukkan ramah lingkungannya pohon ini yakni dapat melangsungkan pertumbuhan dalam kondisi tandus dan hidup sebagai perintis. Tanaman ini pun kami  tanam sesuai dengan perannya. Posisi yang diambil yakni berhadapan dengan sekret D3 MIPA. Hal ini juga didukung karena kekosongan lahan dan ketandusan tanahnya. 

Adapun yang menjadi realisasi terbesar dalam penanaman pohon ini yakni lepas guna dari pemanfaatan penebangan, melainkan mengisi kekosongan lahan, kerindangan, dan peran tanah tandus menjadi fungsional. Oleh karenanya, sebagai penekanan kami berusaha untuk mendukung kegiatan lain dari penanaman tersebut yakni memanfaatkan kertas bekas untuk dijadikan buku catatan kecil mahasiswa. Sepintas menimbulkan pertanyaan akan hubungannya yang sangat erat. Kita akan mengenal setiap saatnya kertas yang diolah berasal dari bubur kertas. Bubur kertas ini tentunya tidak lain berasal dari pengolah an kayu. Pohon yang kerap ditebang setiap saat menimbulkan masalah lingkungan yang harus diwaspadai seperti salah satunya yakni longsor, tentu hal ini menjadi salah satu penyebabnya yakni pemanfaatan kayu yang berlebihan sebagi pembuatan kertas, untuk itu sebagai mahasiswa yang mengerti akan ancaman kehilangan pohon sudah semestinya turut memanfaatkan kertas bekas untuk meminimalisir penggunaan kertas yang berlebihan.


Pemanfaatan kertas ini akan sangat mudah dilakukan bahkan secara pribadi langkah ini dapat dilakukan otodidak dengan kertas pribadi di rumah atau kertas kerja pembuangan kantor yang tidak lagi dimanfaatkan. Bahkan jika ingin lebih rapi, kita dapat menyodorkan kertas tersebut kepada yang terbiasa memotongnya yang tentunya dengan tangan-tangan mereka yang lebih prakti dengan harga terjangkau. Hal lain yang mampu dikembangkan dari pengolahan kertas ini yakni dapat kita canangkan dalam ajang ekonomi kampus. Ini tentunya dapat dilakukan siapa saja.





Dengan demikian, Tidak lagi memiliki alasan harus menjadi ilmuan untuk peduli lingkungan. Perlakuan tersebut tentunya dapat dilakukan semua pihak dengan langkah-langkah yang sangat sederhana. Sesungguhnya andalah peneliti dalam lingkungan anda sendiri.



Kenangan Semasa Zaman-Baiturrahman #PenaKamiTidakPuasa



Tepat persisnya, saat tulisan ini diabadikan. Menuliskannya sebagai buah rindu yang lama lenyap berbisik keharuman. Masjid Raya kini menjadi tempat yang masih sangat dijadikan prioritas mukmin dalam beribadah. Semua eksotisme yang terbiaskan membuat para turis datang dari berbagai penjuru, masjid ini kian berkembang dan dikenal, dan sejarah lamanya memberikan cukup saksi soal perlawanan. Emosional pengunjung akan Baiturrahman, rumah yang penuh kasih ini, telah menjadikannya sebagai tempat yang sangat menenangkan untuk beribadah siang malam, belum lagi yang dapat melangsungkan akad pernikahan begitu hikmat di dalamnya. Bahkan rumah Tuhan cukup gentar menyaksikan gelombang beberapa tahun silam. Begitu berbahagialah masjid ini, telah menjadi substansi berharga ditengah keberadaan pusat kota.

Pada tujuh belas Ramadhan lalu, sebagaimana semestinya kaum muslim akan memperingati Hari Nuzulul Qur'an atau hari turunnya Al-Qur'an. Semaraknya peringatan ini juga dirayakan disejumlah masjid, salah satunya masjid pusat kota, Baiturrahman. Ketika itu, Mantan Imam Masjid Madinah, Syeikh Ali Muhammad Ali Jaber tampil sebagai penceramah Nuzulul Quran di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Minggu (05/08/12) malam. Selain mengisi ceramah, ulama ini juga bertindak sebagai imam shalat Isya dan Tarawih. Hadir pada peringatan Nuzulul Quran tersebut yakni di antaranya Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Kapolda, Wali Kota Banda Aceh, dan pejabat dinas/lembaga di jajaran Pemerintah Aceh.

Seperti yang dilansirkan http://seputaraceh.com/read/10573/2012/08/07/syeikh-ali-jaber-ingin-aceh-jadi-aceh-al-quran, Syaikh memberi beberapa untai kata kepada pemerintah Aceh dalam kedatangannya tersebut,
“Kalau Gubernur Aceh menyutujui, saya akan perjuangkan Aceh menjadi Aceh Al Quran. Saya akan menjadikan Aceh penghafal Al Quran. Cita-cita saya, anak dan cucu bapak-bapak ke depan menjadi imam besar,” ujarnya.

Sebagai jamaah yang turut hadir dalam pelaksanaan peringatan Nuzulul Qur'an tersebut saya merasa sangat diistimewakan dengan kehadiran beliau. Bahkan, kedatangannya yang sesaat tersebut telah memberikan goresan petunjuk yang begitu dalam. Bagaimana kiranya jika jauh sebelum itu pula, saya merasakan kehadiran seseorang yang tidak pernah saya temui seumur hidup dan hanya mendengar ceritanya dari orang tua dan sanak saudara terdekat.

Beliau dahulu adalah seorang penghafal Qur'an. Kini hanya dapat melihatnya dalam bayang cerita. Siapakah kini yang akan mewarisi sandangan penghafal tersebut jika bukan cucu-cucunya? Andai hidup dizamannya, aku pun akan turut berdiri di belakang shafnya, tepat di Masjid Raya Baiturrahman. Tempat yang saat itu Syaikh Ali Muhammad Ali Jaber menyampaikan maklumat mutiaranya dan menjadi tamu besar bagi rakyat Aceh.

Beliau adalah seorang  teungku, bernama tgk.Ahmad. Seorang yang sangat dipercaya di kampung kami dan imamnya orang Aceh di Masjid Besar yang kita kenal saat ini. Jika beliau masih hidup, saya akan tetap membayangkan betapa indah kalimat Syaikh Ali itu dituturkan melalui lisannya yang mulia, menjadikan Aceh yakni Aceh-Al-Qur'an. Kini seluruh doa terpanjatkan, menjadi panutan kami disemasa zaman. Menatap peninggalan buku-bukumu dan berharap mengerti isinya suatu saat. Kami merindukan Imam kami.

#PenaKamiTidakPuasa

Meluaskan Cita-cita Sang Anak #PenaKamiTidakPuasa

Ketika pagi terus menyambut, akan ada setiap cerita yang akan dimulai kembali. Seperti halnya setiap manusia yang bekerja mulai me-starter kembali motornya atau mobilnya untuk dapat melaju ke tempat tujuan kerja. Belum lagi ketika mencoba melanjutkan perjalanan, sarapan akan tetap menjadi teman di pagi hari. Kemudian ketika seorang ayah dari anak-anak harus bekerja, di saat itu pula anak-anak akan berangkat ke sekolah untuk belajar bersama teman-temannya.

Ketika seorang yakin hari-harinya sangat berkualitas, ia pasti merasakan hasil memuaskan dari hasil kerjanya. Namun berbeda halnya jika nilai kualitasnya hanya terorganisir sumber income yang masuk melaju setiap saatnya, tentu akan ada yang patut ditanya mengapa harus pendapatan itu sendiri? Sehingga semuanya tidak ikut campur banyak dan hanya menurut.

Contohnya adalah anak-anak yang suka meminta ayah dan ibunya berjalan-jalan, kini hanya cerita 
"Ayah mencari uang nak," atau
"Adik, bunda harus kerja, adik tidak boleh ikut, nanti adik ribut." Jikalau bukan karena itu, apalagi yang mebuat sang anak turut menangis?


Ketika dahulu ibuku bekerja, ibu turut sesekali membawaku untuk bermain. Selain profesinya sebagai guru, ia tahu bahwa membuat anak sering terpaku diam hanya membuat anak membatu, mengeras. Ibu tetap mengizinkan aku bermain disekitaran tempat kerja, di antaranya makan di kantin dan berbicara dengan warga kantin lebih lama walau ketika itu aku sendiri saja. Ketika aku bosan, saat itu juga aku kembali melihat ruang kerja ibuku, melihat ia mengajar, kemudian menuju perpustakaan untuk melanjutkan hobi lompat -melompat diantara satu meja buku dengan meja yang lain disaat para pembaca tidak menaunginya, tidak lupa menuju taman sekolah sembari memandang banyak orang yang belajar, dan pasti melihat berbagai macam orang-orang disiplin kantor yang sedang mengetik. Tanya ini dan tanya itu.

Begitupula dengan ayah, aku diberi kesempatan ikut sepulang sekolah untuk melihat-lihat kantor ayah. Ah, yang penting aku tetap dibawa, walaupun nantinya aku harus menunggu di kendaraannya, melihatnya bekerja, memperhatikan pula ruang kerjanya, bermain air tempat orang-orang yang sedang berwudhu, dan tidak lupa melihat lapangan tennis tempat pekerja-pekerja melwati waktunya.

Mungkin ada kata yang ia semat selalu dalam pemahaman pengajaran mereka, bahwa

"Semakin banyak mata memandang maka akan semakin luaslah cita-citanya." Sajak lama

Jika sang anak dibatasi akan kesibukan orang tuanya, bagaimanakah lagi yang seharusnya dikatakan kualitas? Mungkinkah benteng ter-emisinya income menjadi patukan atau kestabilan disaat kesibukan? Jika sejak kecil anak hanya dibiarkan melihat dengan cara pandang lama yakni berdiam di rumah dan menunggu ayah-ibu pulang, apakah kalimat yang baik kita katakan pada diri kita sendiri? Bahwa terlalu banyak yang berasumsi, membawa anak kemana-mana adalah segampang kalimat 'anak itu repot'. Padahal ia diciptakan untuk hadir ke dunia dengan segenap keinginan yang sama, ingin melihat, merasa, dan menjadi pendengar yang baik. Itulah sebab ia punya cita-cita menuju ridha Tuhannya (Allah).

Menyantuni Romantika Kehidupan #PenaKamiTidakPuasa

Sedari kecil, terbiasa menjadi bagian dari alam adalah sebuah keniscayaan. Ayam, kucing liar, kucing piaraan, marmud-marmud, cicak kecil, cicak besar, burung merpati, monyet, dan tidak lupa aves sampai sekarang yang masih akrab menjadi simpanan rumah yakni ayam dan burung jalak.

Sejak kecil binatang di atas kerap menjadi teman. Kata ibu, saat nenek menjagaku dalam keadaan lengah, aku sempat dikelabui oleh hewan yang rentan rabies di dunia yakni monyet. Waktu itu nenek mungkin saja lelah dan tertidur. Setelah sadar, nenek melihat mukaku dielus monyet dan kakiku diangkat dengan persis kepalaku di bawah. Nenek berteriak kegirangan dan monyetpun berlari. Memori sabang, beberapa bulan terlahir ke dunia.

Aku dan kucing saat itu bertaaruf alias saling mengenal saat aku masih berumur lima tahun. Kami terbiasa berdua. Bahkan sejak kecil, kami sering tidur dibawah tudung nasi yang dilumatkan di lantai hingga suatu ketika ibu mencari-cariku. Tingkahku memang tidak dapat dimengerti sejak kecil. Ketika akrab sekali dengan sang kucing, aku rentan melihat kucingku dapat membuka tudung nasi yang terbuat dari rotan dan ibu sangat marah. Kami hidup sepuluh tahun bersamanya hingga ia menjadi sangat tua dan tiada.

Lain lagi ketika itu, saat memelihara ayam kate malaysia dan hutan. Ayam kate hutan kami kerap menghilang saat awal-awal adaptasi kandang baru di rumah kami. Jikalau bukan bersembunyi di atas pohon jeruk perut dan bisa dipastikan ia berada di atas atap rumah. Kami cukup terbiasa dengan ayam sejak kecil, bahkan aku mempunyai seorang abang yang sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama sudah mengurus ayam yang anaknya beranak pinak dan peliharaannya memenuhi standar kandang penjual bebek terkenal. Sejak itu pula sang abangku rajin berbisnis. 

Ah, lupakan soal marmud yang pernah  kupelihara. Karena anaknya mati semua. Anak-anak marmud yang pernah aku pelihara sejak kecil ini musnah ditelan khatulistiwa hanya gara-gara kaki induknya yang tinggal bersamanya. Terjepit dan henyaklah dalam himpitan lubang.

Namun, dari sekian banyak peliharaan yang memiliki hakikat kesetiaan adalah kucing dan ayam. Mereka sangat lama bersama kami, bahkan kucing kami sudah berada pada umur lepas sepuluh tahun. Seperti seharusnya, kucing dan ayam kami tetap punya keadaan tertentu yang sangat dimaklumi. Kunyit bubuk sering menjadi warna yang menempel pada bagian lukanya saat kucingku berkelana dan berkelahi. Kata Ibu, hanya itulah obat lukanya. Belum lagi ketika ayam-ayam kami sakit, Ibu kerap menyuapi ayam tersebut dengan nasi yang pada umumnya manusia makan. Bukankah Hewan juga makhluk yang patut kita santuni?

Kini burung jalak lain bersiul tepat dibelakang rumah dan berteriak saat kami menumpahkan air karena saat itu ia tahu kapan seharusnya mandi dengan sayap-sayapnya dan meniru suara jelek yang kami keluarkan saat kami bersin.



Turut mengabadikan sebuah lukisan ayam piaraan kami. By: Nuurul Husna