Jika
5000 tahun lalu di Cina pembuatan tinta adalah berasal dari darah yang
dibekukan dan kulit binatang, India akan ambil alih dari tulang yang dibakar. Cumi-cumi
yang disebut sepia juga menghasilkan
tinta hitam dan olehnya hanya diperuntukkan kepada musuhnya. Para pelukis mesir
kuno menggunakan serpihan besi (asal tumbuhan) sebagai penghasil tinta. Dan
apakah tinta kini hanya seonggokan cairan hitam? Syaraf terutama akan dihadang
pemutusan gangli-gangli menyambut racun kematian jika tinta diminum.
Jika Cina saja menggunakan
darah? Maka apa hebatnya sebuah tinta? Lantas jika tulang dibakar, apakah
hebatnya tinta itu? Untuk apa cumi-cumi juga naik batang hidungnya dalam andil
tinta? Untuk apa cumi dan zat hitamnya ikut konferensi kehadiran?
Olala...
My dear, karena tinta adalah
sebuah cairan yang tidak biasa. Bukan cairan sekedar hitam dan berwarna. Karena
tinta melekat. Karena melekat maka ia diabadikan. Karena ia bukan air mineral
yang kita minum. Karena kita mengambilnya dari substansi yang hidup yang
istimewa, diramu. Substansi yang Tuhan ciptakan. Substansi yang telah menjadi
perjanjian manis diatas daun rumbia yang belum menjadi kertas, dahulunya.
Bagaimana jika tinta mati atau
tertidur? Mungkin saja hari ini tiada agama, tiada Qur’an, tiada sekolah, tiada
tahu bagaimana bisa tiang gedung menjulang, tiada penutur atau pembaca syair
puisi kepada bulan, tiada apapun kecuali bahasa isyarat. Bahasa-bahasa yang
terciptakan begitu saja menurut territorial masing-masing. Maka tinta adalah
kerajaan penyampaian. Tinta mati maka semua substansi penyampaian mati, tiada
yang menstranslate bahasa untuk dikenal dunia. Jika berjalanpun tiada tahu
nama, berserakanlah kaki kita dimuka bumi, terpijak muda satu dan mudi yang
lain karena tiada mengerti bagaimana
cintanya alamat-alamat pada namanya, Maka primitiflah tanpa tinta.
Maka tinta adalah nyawa. Dengan
tinta timbullah kepercayaan, pemberi lekatan nama alamat pada jalan agar kaki
mengerti arah, Tinta lah milik pelukis, pemilik gedung berlantai, pemilik
lintas dunia dalam bahasa, pemilik syair, pemiliknya yang menginginkan. Itu
semua soal karena tinta cinta pada lekatannya.
Maka tintaku akan bersuara tajam
lebih dari sekedar pedang, yang menembus tulang dan darah asal tinta itu
bernaung, disini dalam rahmat Tuhan segala-galanya, ku ikrarkan kepadamu Tuhan
dan Taulan, “tinta tiada pernah tidur” meskipun aku tertidur pada nafas yang
tergenggam izrail. Jika saja tertidur, maka itu ketika bumi berbisik lelah
kepada pemiliknya.
Forum Linkar Pena 12nd. J
backlink ya nuurul :)
BalasHapuswww.2f1m.blogspot.com