Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Tanya padaMu

Bolehkah?
Jika yang membekukan itu adalah sesuatu yang kami tidak ketahui karenaNya, kemudian kami biarkan mencair dengan sendirinya?

Baikkah?
Jika kami ingatkan kemudian kami abaikan, karena kami telah berpasrah?
menertawakan kami selebat-lebatnya, mungkin karena kami tidak mengetahuinya atau kami sedang diuji.

Mampukah?
Jika dalam sesuatu yang besar kami dituntut untuk mampu lakukan
tapi kami tetap meradang.

Rumput yang tidak mempedulikan arah angin meniupnya.. pula akan menyuburkan ketika ia ditebas dan kering.

Banda Aceh, 30 Oktober 2013

Kusebut Kesetiaan

Ada sebuah kalimat yang memaksa jari-jari saya harus menari lagi kali ini. Meski sebenarnya dalam kondisi tubuh dan otak yang sulit untuk berintegrasi. Tapi saya akan coba merangkainya spasi demi spasi. Kalimat ini saya baca dari pesan yang dikirimkan seseorang yang juga merupakan inspirasi saya menuliskan artikel ini. Kalimat tersebut berbunyi,"Kesetiaan itu nilai hidup."
Menurut saya pernyataan di atas adalah benar. Tapi, herannya mengapa banyak orang yang membatasi arti kesetiaan menjadi lingkupan yang lebih sempit? Mereka memaknai kesetiaan tidak lebih hanyalah sebuah KEPEDULIAN atau  PERHATIAN. Apa yang dimaksud “peduli” di sini bukanlah peduli amal, dhu’afa, bencana, dan lain sebagainya. Tapi “peduli” dimana kita mau memahami, mendengarkan, memberi solusi orang-orang terdekat kita. Dan umumnya, mereka yang senantiasa peduli terhadap orang lain dianggap orang yang setia dan memiliki dedikasi tinggi dalam kehidupannya.
Tapi, saya pikir rugi sekali kalo kita hanya mengartikan suatu kesetiaan hanya dari rasa kepedulian, sedangkan kita mungkin bisa mendapatkan yang lebih berharga lagi. Nah, yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana jika suatu waktu atau bisa jadi dalam waktu yang sangat lama ada seseorang (misalnya ia sahabat dekatmu) jarang sekali atau tidak pernah menunjukkan kepedulian atau perhatiannya lagi kepadamu? apakah dengan begitu kamu langsung menilai bahwa ia sahabat yang tidak setia? Tentu tidak, bukan. Egois sekali rasanya jika kita menilai buruk sahabat sendiri sebab ia tidak peduli atau perhatian seperti dulu lagi.
Kalo saya bilang, kesetiaan itu ibarat meng-update status di FB. Ketika tulisan kamu telah ter-update, itu berarti akan ada banyak orang yang membaca status tersebut. Sebagian teman2 FB kamu pasti ada yang menge-like dan bisa jadi ikutan komen, dan sebagian lain tidak melakukannya meskipun sebenarnya mereka juga baca. Kemudian, kamu langsung menganggap bahwa mereka yang tidak like atau komen, tidak suka dengan status yang kamu buat atau memang tulisan kamu tidak berbobot. Tapi, Bagaimana kita bisa tau kalo mereka suka atau tidak hanya dari jempol atau komen "super sekali, muanthap, good, de el el" yang mereka berikan? Mungkin saja mereka like karna kamu pernah atau sering like status mereka, atau memang status-mu bagus lantas mereka pun meng-like-nya. Entahlah, itu hanya kemungkinan2 yang bisa jadi benar atau salah. Tapi, mereka yang tidak like atau komen, bukan berarti tidak suka dengan tulisan-mu. Padahal, jika saja kamu tau, selama ini ada teman2 FB-mu yang jangankan komen, kasih jempol manis aja nggak pernah, eh, ternyata diam2 malah mereka yang selalu up to date dengan your updated status. Dan kabar gembira yang tidak pernah sampai ke telingamu adalah, tulisan2 yang kamu update itu ternyata juga telah mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Masya ALLAAH! bukankah hal tersebut lebih berharga dan berpahala bagimu dan baginya daripada ratusan likes and comments yang kamu peroleh.
Begitu pula makna kesetiaan, kawan. Bila kita menilai seorang teman, saudara, atau siapapun tidak setia hanya karna ia kurang peduli, tidak sempat mendengarkan, atau menanggapi setiap permasalahanmu, maka kamulah sebenarnya orang yang sedang mengkhianatinya. Mengapa demikian? Ya, karna kamu hanya memikirkan kondisi hidupmu sendiri, lantas lupa bahwa temanmu itu juga memiliki kehidupan yang mungkin bahkan lebih sulit dari hidupmu. Sehingga, kadang kala membuat mereka tidak sempat (bukan tidak ingat) peduli, mendengarkan, atau hanya sekedar menanyakan kabar.
Oleh sebab itu, sekali lagi saya katakan bahwa benar adanya kalo kesetiaan itu nilai hidup, tapi tidak selamanya kesetiaan itu harus dibuktikan dengan kepedulian. Terkadang, ada moment tertentu dan karna faktor tertentu pula seseorang tidak bisa menunjukkan kepeduliannya padamu, tapi kita juga tidak pernah tau, bisa jadi dalam tiap-tiap uantaian do'anya senantiasa terucap namamu. Apakah suatu kepedulian yang kau inginkan lebih berharga daripada ratusan do’anya yang sama sekali tidak pernah kamu ketahui? Sebagaimana sebuah hadist yang sangat mengesankan, yang bunyinya:

Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu  tadi.” 
(Shohih) Lihat Ash Shohihah (1399): [Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal. 88] 

Maka demikian, mari kita pahami bahwa sebenarnya kepedulian dan perhatian yang kadang tergantikan dengan do’a merupakan wujud kesetiaan yang hakiki. Dan, beruntunglah kamu memiliki teman yang selalu mengingatmu dalam do'anya.

Tulisan sang Ibu Muda, SF