Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Obat Malaria Ciptaanku, Kak!!



            Allah Maha Esa dan Maha Perkasa. Betapa senangnya ketika hadirnya karunia, saya kedatangan seorang pendekar tertua dari negeri kota pendidikan. Masih sekolah menengah pertama, masih imut-imut dan suka loncat-loncat bahkan sampai sekarang. Maka sayapun senang-senang dan loncat-loncat kegirangan. Karena kepulangan seorang abang yang suka membawa oleh-oleh dari Yogjakarta. Sayapun menanti jemputannya dari bandara Internasional Iskandar Muda.

            Benar, aku dapat jatah oleh-oleh. Tapi hampir lupa, mungkin yang bisa diingat adalah salak pondoh. Tidak ingat. Karena terlalu banyak. Dahulu, ia membawa istrinya pulang ke Banda Aceh dan akan melahirkan cucu pertama oraang tua kami. Kebetulan saat itu sang kakakku akan menikah pada tahun 2007. Semuanya berkumpul. Meskipun kali ini saya akan tidur di lantai beramai-ramai. Tidak akan mengurangi kemeriahan.

            Belum saja empat hari kedatangannya. Lama mungkin sudah tidak bertemu dan kangen sama adiknya, tangan abangku tiba-tiba gatal. Akunya dicubit-cubit, disuntil. Makin aku balas semakin aku jadi boneka Mario bross nya. Bukan kesal lagi, aku lari dari rumah. Tapi, sebelum lari sebelumnya aku sudah minta izin sama bapak untuk diantar. Mau melarikan diri saja mesti minta izin. Karena aku memaksa.

            Sepupu, memang tempat paling aman. Kakak sepupu yang suka blak-blakan kalau menemukan sesuatu. Belum besar saja, aku dibiarkan mengkonsumsi buku belajar kedokterannya. Uniknya memang hari ini kami kembali bersatu dalam satu kamar. Seperti dapat adik baru, padahal adiknya banyak dan selalu saja kalau aku pikir panjang, nalarku tidak pernah sampai mengapa mereka juga selalu mulutnya pada beradu. Selalu saja adik lelaki semata wayangnya kalah perdebatan dengannya. Padahal ia juga abang sepupuku, mau tidak mau kalau nginap disana, kami bersatu padu bersama kakak. Kasihan banget adiknya. Sampai sekarang bisa dipastikan abang sepupuku itu sangat penolong.

            Pada hari itu kakak mengajak aku belajar mempreteli alat dapur. Kebetulan semua orang saat itu sedang pergi. Ummi dan ayah mereka kerja dan sang kakak sedang melibur kuliah beberapa hari. Aku juga baru saja selesai dari pembagian hasil rapor. Tentunya masih sering mengambil kesempatan plakat kalau bukan rangking satu pasti rangking dua. Duele. Kerenkan. Padahal ilmu itu gak selamanya harus dari rangking, aku sadar. Tapi, bisa dipastikan aku dahulu paling senang belajar matematika, melukis keadaan kota pada pelajaran ilmu sosial, tugas seni lainnya. Kalau tugasku belum selesai dua hari sebelum deadline, aku merasakan akan jungkir balik. Semua aku selesaikan dalam satu malam, hingga tengah malam aku suka diingatkan untuk tidak tidur terlalu larut, kata ibu. Ibuku selalu heran, ada saja yang kuperbuat tiap malamnya.

            Pada saat itu sang kakak mengajakku ke dapur. Awalnya aku cuma melihat lihat dan menanya-nanya ini apa, itu apa. Cuma itu saja. Aku tidak pandai memasak. Saat itu kami kompak seperti lem cap setan, sebuah lem yang biasa ibuku pakai untuk melekatkan kembali sepatu yang lepas. Berdua disaat yang lain sedang berkelana bebas. Adiknya sang kakak yang perempuan sibuk sendiri, si abang juga sibuk sendiri. Kebetulan waktu aku dititipkan bermain dirumah sang kakak, ayah sengaja membeli sekilo setengah buah jeruk dan kami teringat. Buah belum disentuh sama sekali. Sang kakakpun mengambilnya disuatu tempat.

“Dek, tahu kan cara buat juz jeruk?” Tanya sang kakak dengan mata yang serius.

“Emang kakak gak tau? Gampang kak!!” sahutku geboy.

“Siapkan blender sekarang Kak!” tiba-tiba sang kakak telah aku perintah, dasar adik durhaka. Ya habisnya, saya gak tau blender mereka letakin dimana, ini kan rumah orang. Tapi, terkadang kalau dirumah sendiri juga sayangnyaa saya tidak tahu dimana ibu meletakkan ember, eh blender.

“Beres!” kata kakak, “ni!”

“Cuci buahnya dulu Kak!” mungkin dalam hatinya, emang dasar adik durhaka suka nyuruh-nyuruh kakaknya.

“nah, tau tak? Ini jeruk dibelah dua terlebih dahulu.

“trus?” sahutnya

“loh, kakak bener-bener gak tau ya?” tanyaku.

“Ya, sekarang masukin aja terus jeruknya bulat-bulat ke dalam blender, gitu aja kok susah!” jelasku.

“yakin?” tanyanya lagi.

“yakin Kak!! Kalau berbuat itu harus yakin.” Sahutku percaya diri. Sang kakak hanya melihat kanan dan kiri sebentar, kemudian mempercayai perkataanku.

            Niat kami sangat baik teman. Kami sengaja membuat juz ini untuk mereka yang akan pulang kerumah dari aktivitas yang melelahkan. Bapak dan ibu sang kakak. Kami pun menggiling semuanya bulat-bulat dengan blender. Hanya dengan bekal percaya diri, kami semua telah menyulap jeruk menjadi juz.

“Kak, mati kita! Tambah gula dua kilo, ada gak?” setelah mencicipi sesendok.

“Hah? Apa? Pahit? Asam? Gak ada gula, ini yang ada.” Ia menunjukkan gula yang hanya tinggal sekecil, setengah kaleng.

            Ia pun shock,

“Ohai...Dek. Manis kali, obat malaria aja kalah. Saya dari awal udah ragu, kok kulitnya ikut diblender, hahahahaha.... Hilang sakit kepala saya, sumpah saya salut!”

            Bergram-gram gula ternyata tidak cukup melukiskan betapa manisnya juz ini. Kami berdua terdiam konyol. Kami menyuguhkan semua yang telah kami lakukan di atas meja makan dan aku yang memersilakan mereka lebih dulu untuk mencicipi, mereka yang pulang tiba-tiba diliput rasa senang yang tak terhingga. Subhanallah, kata mbak Oki Setiana Dewi.

            Setelah mereka mencicipi juz lezat dingin, tiba-tiba semua mengernyit, terdiam.

“Ya Allah, Keren kali, luarnya kuning macam juz mangga, obat nyamuk malaria, nanti malam aku bakal bebas digigit nyamuk nampaknya, gak apalah!” sahut si abang.

“Jangan banyak bicara, habisin itu juz! Udah mau dibuat!” sahutku

“Aku tahu, ini si dek nong puny aidea.” Sahut abang. Akupun bergidik geli.

“Jadi kulit-kulitnya ikut di blender?” kata bunda

“Dek Nong. Apakah kau tahu? Engkau cerdas. Ulahmu tidak habis-habis!” kata oom.


            Perutku semakin terkocok, saya yakin saya sendiri tak mampu menghabiskannya. Sampai mau tertidur kembalipun, saya menertawakan diri sendiri. semoga satu rumah hari ini tidak digigit nyamuk. “Ini mungkin obat malaria ciptaanku, kak!” Untuk kakakku yang jauh nun di negeri orang. (cerita ini sedikit fiktif tetapi semuanya kenyataan).

Hijrah dari Atap Rumah

            Seperti apa yang dimengerti anak kampus, ada yang mengatakan ketidakhadiran anak kuliah  itu diperbolehkan hanya 25%,  tetapi juga ada yang mengatakan bahwa  tidak masalah kalau tidak kuliah yang penting belajar, yang penting saat ujian harus banter dalam menjawab soal dengan syarat tidak menyontek. Jadi tidak berniat datang beberapa hari adalah keniscayaan yang tidak dihiraukan. Hal yang terpenting adalah jangan putus belajar.

            Ah, siapa bilang cerita diatas itu baik? Saya akan mengatakan sikap demikian tidak sepenuhnya menguntungkan. Apalagi anak kos yang masih bergantung dengan kiriman amplop. Bukan hanya anak kos,  anak yang bukan kos pula juga akan sangat menyia-nyiakan financial orang tuanya. Bayangkan saja berjuta-juta dikeluarkan budget atau bahasa sumatera paling ujung “peng” hanya untuk membiayai kita kuliah, bukan hanya banting tulang, tetapi hampir saja banting pintu, jendela, kosen saat berangkat dan pulang, banting muka dari melihat karyawan yang tidak bekerja di depannya, banting energi habis-habisan yang paginya mungkin sarapan seorang petani, teh atau kopi dengan sepotong roti, banting badan saat lelah dikasur yang beralaskan papan. Mana mungkin kita yang terpenuhi kiriman amplop berlanjut, malah bersikap duele. Jika mereka tahu, para orang tua, mereka merundukkan wajah dan meratap sedan.

            Hari ini, saya tidak ingin ke kampus. Saya ingin dirumah, Karena memang seharusnya hari ini tidak ke kampus karena hari libur. Waktu saya habiskan bersama dengan cucian, menggunung. Dua minggu telah mendiamkan cucian. Kamar sebelah sedang pulang kampung pekan ini. Lagipula kampungnya tidak begitu jauh. Hanya menempuh waktu selama dua jam. Jadi, saya sepekan ini akan tinggal bersama teman satu kamar yang sedang pergi untuk jam kuliah ganti, ibu kos, dan anaknya yang baru saja berumur satu tahun.

            Peristiwa krenasi pun terjadi, selesai menyuci cairan tangan saya secara total terkulas bersama detergen. Mengkerut. Rebam tubuh, seketika lemas di atas kasur. Lemas, lemas, lemas. Saya lelah saudara. Mesin kipas angin berputar-putar disiang hari memang menyejukkan badan dan sempurna tertidur dalam keadaan cucian belum terjemur. Rasanya baru saja ternyenyak dan bermimpikan sedang memanjat ingin memetik jambu lilin dari kebun, ketika hendaak memetik jambu satu jengkal lagi. Suara menggelegar seperti beton rumah jatuh menghantui tidurku yang singkat, aku terbangun, jantungku langsung memompa lebih cepat, dan kepalaku mulai panas, rasanya tidak puas tidur. Ingin marah. Ada apa sebenarnya yang terjadi tidak begitu aku hiraukan. Toh suara hanya dari kamar sebelah, aku tidak peduli. Itu kamar budak-budak yang sedang pulang kampung.

            Aku tidur kembali dan menstabilkan jantung. Benar-benar suara itu menganggu sekali. Tapi, mengapa begitu keras. Pencuri? Atap rumah runtuh? Atau apa? Aku disini sendirian, tapi buktinya ibu kos tidak hirau pada bunyi-bunyian. Mungkin sedang bermain dengan tetangga sebelah, ke pasar dan lain-lain. Oh Tuhan. Apakah aku harus melihatnya? Munkin sesuatu terjadi.

            Mulai ku raih handphone untuk melihat jam dan alhasil tepat lima menit lagi pukul dua belas siang. Aku bangun terbelalak mengingat cucian belum juga dijemur. Olala, apa yang terjadi dengan kamar sebelah, mulai sembari melewati tempat pencucian aku ingin coba mengintip. Kebetulan kaca kamar mereka mampu dibuka dan ditutup sekaligus diselimuti besi kuat yang membatasinya. Tidak apa lah, hanya mengecek saja.

            Tiba-tiba kerongkonganku terasa tercekik. Suara tidak lagi keluar. Aku sendiri. dimana semua orang? Bapak dikampung? Ibu dikampung? Bukan. Aku hanya ingin memanggil pemilik kamar, tapi tidak ada. Aku seorang diri. Akhirnya, aku berlari menerobos rumah ibu kos dari belakang. Mukaku semakin panas. Tanpa minta izin masuk aku terobos ruang dapur yang tidak dikunci, menerawang kamar mana, yang mana kamar ibu kos. Aku bingung. Akhirnya suaraku sempurna menggelegar seperti kemalingan,

“Meeerruuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.......meruaaaaa....Bu... meruuaaaaaa, kamar, dikamar, kamar cutcha. Kamar cutcha.”  Aku mulai panik, seperti memanggil orang untuk naik mobil karena tsunami mengejar. Ah, ini lebay sekali. Benar.

            Ibu kos terbangun dari tiduran bersama anaknya yang baru saja ia tidurkan. Ibu kos keluar dan naik pitam. Tanpa aku sadar, bapak tetangga disamping rumah sudah berdiri dihadapan rumah dan terheran dengan suara teriak kerasku. Aku menuju ke kamar cutcha yang pulang kampung dan ibu kos lama sekali menatapnya.

“Kenapa bisa?” suaranya lembut, suaranya masih teduh. Padahal aku sudah panic tingkat provinsi sumatera ujung.
“Atap pecah, merua* jatuh dari atas atap?” menengadah sang ibu ke atas. Sang bapak tetangga pun menatap. Mungkin sedang memikirkan, sejak kapan merua naik dan berdiam diri di dalamnya.

            Aku memerhatikan mereka, mungkin mereka sedang merasa tidak percaya dan mencoba mencari cara mengeluarkan merua dari kamar. Lemari dalam kamar dihancurkan dengan ekor dan merua jenis bapak ini mengeluarkan pubnya ke depan lemari. Mungkin kesempatannya sebelum diusir. Merua hijrah. Untung saja siang itu sang pemilik kamar pulang kampung, kalau tidak? Merua setengah meter akan ...oh Tuhan, mungkin ia akan menyesal dalam hijrahnya. Mengamuk, pub nya menempa cutcha (aku tidak bisa membayangkan), dan merua itu pergi dengan ekor yang siap menebas. Kunci lain ditemukan ibu kos, kami semua membuka kamar,dan menunggunya keluar. Butuh waktu yang lama mengeluarkannya dan bapak tetangga membukakan pintu rumah kami lebar-lebar, kemudian ia bergegas menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

            Teman kamarku pulang, membawa motornya, di depan pintu pagar, ia membuka matanya lebar-lebar, kerongkongannya terjepit, heran dan berteriak kencang sekali, oh tidak, merua berbalik arah kembali ke dalam rumah. Dasar nenek lampir, bahaya, merua masuk lagi. Bagaimana ini? Si nona yang naik motor, kawanku itu kabur dengan kecepatan super di atas jalan-jalan berlubang, kali ini ia seperti kurcaci kepanasan yang terloncat-loncat dan tidak kembali hingga esok pagi.


            Ini semua soal merua. Teman!! Jangan tanyakan ia lagi.