Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Daun Pisang dalam Baur Cinta sang Ibu


Hanya kami manusia yang bergelantung di siang yang tiada pernah satupun tahu bagaimana nasibnya berada. Dengan tangan yang sangat ringan, tekad yang tiada meredup sedetik lamanya akan memberi arti menakjubkan di sepanjang masa kala itu. Jujur, Aku pun tahu bagaimana menjadi bagiannya dahulu. Melihat Ibuku menjual setumpuk kayu bakar untuk penghuni desa seberang. Kali ini mereka sudah jauh menjemput janji Tuhan.

“Ayahku tidak mampu, tapi tak bisa menjahitnya lagi, ini jahitan ke sepuluh, bagaimana kau bisa membalas jasa amakmu? Dan apa hubungannya dengan sepatuku?.”

Septi, bukan hati ini tidak paham maksudmu. Aku tahu bagaimana semestinya ibu mengisi detik-detik nafas kehidupan untukku, hingga aku bertemu dengamu dalam sebuah dimensi mudaku. Engkau sungguh mengingatkanku pada sosok kelahiran wanita yang kini tidak lagi bernyawa. Amak semua harapan.

Pisang yang cukup menambah berat, namun hanya lembaran yang tersisa untukku. Lembaran kayu dan lembaran daun sahaja. 
“apa ini bisa?” 
“bisa, yakinlah! Percaya saja lah, Allah akan menolongmu..” Aku meyakinkannya.

Maka dengan segenap tenaga, aku akan mengerti. “Anggap saja ini hadiah aku untuk mengingatkan jasa amak.” Walaupun setengah yakin ia tetap mengangguk. Kami akan segera menjajakkannya ke mana saja, agar temanku tahu bahwa betapa berharganya ia untukku.

Kami menjajakinya mulai dari pasar kelontong hingga pemulung. Semua orang kami tawarkan, hingga kami menemukan seseorang yang membutuhkan daun pisang ini sebagai lontongnya. Ya, tentu kami mengerti, tentu tidak semua jajakan kami berhasil dijual karena mungkin tidak semua membutuhkan apa yang kami tawarkan. Namun sayang, petir menyambar mengkilap selepas dari tukang lontong, hari seakan tidak seperti biasanya bersahabat. Kami terpaksa menghentikan penjualan dan berlari ke sebuah kios tanpa penghuni. Rumah kami pun sangat jauh dari tempat ini.

Hujan deras menghanyutkan kami. Tentu aku dan temanku terhenti menjual. Hujan lama sekali berhenti. Kami mencoba tertidur di kios, hanya sekedar menunggu hujan berhenti. Lantas, kami benar-benar tertidur. Oh Tuhan, mengapa barang kami hilang semuanya. Dahsyatnya, kami terbangun dengan hilangnya barang-barang jualan kami. Bagaimana ini? Kemudian temanku itu menemukan sepucuk surat di sakunya, segera ia merogoh sakunya dengan tangannya. Ia menemukan dua lembar uang merah dengan nominal lima angka nol.

“wahh... dari siapa ini? Ini lebih dari cukup!”
“benar, bukan? Apa kataku, percayalah pada pertolongan Allah.” Ia mengangguk-angguk.

Kami berlari-lari kecil sehingga tidak ada lagi yang harus kami lakukan selain membeli sepatu temanku itu, ya sebuah sepatu baru. Pasar baru yang telah menunggu di sore itu menjadi saksi Rahman dan Rahim Allah kepada dua anak manusia dengan keteguhan "mencari" sedikit rizki dengan cara yang halal.

Dua puluh tahun telah berlalu, peristiwa itu masih membekas dalam benakku, aku tidak membenci takdirku, bahkan aku amat bersyukur atas kejadian itu, membuatku lebih menghargai setiap langkah orang tuanku.

Dan tentu saja aku tidak akan menyuruh buah hatiku untuk melakukan hal yang sama sepertiku dahulu, hanya saja aku mengemasnya dalam bentuk yang lain.

Semoga setiap tetes keringat orang tua bisa dihargai oleh anaknya, walaupun tidak menginginkan balasan. Karena semua merupakan bentuk tanggungjawabnya kepada sang Rabbi, ditambah rasa sayangnya yang teramat sangat kepada mereka, hanya satu asanya ingin melihat anak-anaknya yang sholeh/sholehah.

Pelangi Untuk Ridha



Tentu, Aku rindu. Aku rindu kitab kuningmu, aku rindu senyum dan tawamu, dan sikap yang membuatmu tidak mengerti aku. Awalnya kita sama-sama tahu bahwa sejak lama aku bukanlah teman yang baik untukmu. Hanya saja kita sama-sama tahu, akhirnya kita dipertemukan untuk saling padu. Dahulu aku bersedih karena lantaran Tuhan memberinya melalui caramu, yang membuatku dan Tuhan (Allah) ridha akan persahabatan kita, mungkin pilu sebagai pengenal. Kini lebih baik mengenalmu.

Mungkin ini bukanlah cerita telenovela tentangmu yang berisi keteduhan pada janur hatiku, tetapi ini cerita apa adanya yang aku miliki tentang sebuah hikayat manusia. Meskipun Aku tahu Tuhan (Allah) segalanya bagi hatiku. Lantas mengapa aku tidak ingin mencintai sesuatu tanpaNya. Engkau seharusnya memang tahu tentang tragedi siapa pencengkram bumi dan keruhnya sebagian yang lain yang berada di atasnya. Kumpulan apapun tidak berarti kecuali satu, siapa temanmu.

Bukan.. Bukan.. Aku. Tetapi, janur hatimu. Dia membisik selalu. Kemana saja, engkau harus mengenalnya. Mengenalnya bukan dengan keseharian yang berilusi topeng pamungkas manusia bumi, tetapi ia terkadang sempurna bahaagia dikala engkau menjadi penyejuknya. Penyejuknya itu adalah apa yang seharusnya menghiasinya, amalmu kawan. Kesalihan akan membawamu sebening surga, lihatlah engkau akan seperti pelangi. Karena engkau mendengar bisikan kebaikan dan kecintaan hatimu. Tetapi, engkau akan tahu ketika hatimu binasa, kekacauannya yang datang silih berganti, hatimu digiring nista, kelumpuhannya akibat cantikmu tidak bersinggasana sedari biasa, engkau bahkan tidak mendengar suaranya, atau bahkan engkau mendengarnya, namun ia sakit lantaran bisa saja ia datang karena luka yang terlalu dalam, bukankah engkau tahu siapa yang mengaturnya?

Apa kabarmu yang sebenarnya adalah kabarku. Kabarmu adalah kabar seiring tragedi mesir kita. Kita akan bermain di surganya kelak jika kita percaya. Seperti mujahidin dan mujahidah. Jihad kita adalah birrul walidain, berbuat baik kepada orang yang menjaaga sedari kecil. Kemurungannya adalah cintanya kepadamu, biar hanya Allah yang tahu kebaikan dan dosanya. Semoga Allah menutupi dosanya dan mengangkat derajatnya dan bermain denganmu di surga kelak lantaran saling sebaya dan sama lah indah rupanya. Bukankah surga itu ada? Walau kesalahan sebesar bumi dan angkasa, walau ternyata kita terkadang tidak tahu apa yang hendak Allah beri di akhir ujungnya, tetapi percayalah dengan kekuatan ampunan dan doa selalu akan menyertai dirimu menuju ke sana. Begitu pula dengan Aku teman.

Aku tahu. Engkau yang merasakan cinta Tuhanmu yang lebih dalam sedangkan aku merasakan bagian cintanya yang lain. Mungkin esok atau lusa, pasti aku akan tahu. Namun, aku tidak tahu kawan. Berbahagialah, semua akan kembali. Ke surganya..... jihad seorang wanita adalah ibu. Ke surganya..... jihad seorang bidadari. Bukan perang yang utama, tapi ibumu yang tersisa. Begitu pesan nabiyullah yang telah tiada. Ajaklah ia bermain dalam taman surga. Memakai mahkota terbaik dengan hafalan dan pemaknaan kitabmu, yang selalu kau pegang bersamamu.

Maafkan, jika sesungguhnya aku ingin mengatakan, benar. Suatu hal akan reda, badai akan kembali cerah. Akan ada pelangi. Yaitu pelangi untuk ridha. Ridha, semoga engkau termasuk teman sepermainanku pula di surga. Untuk ridha, mungkin esok aku yang tiada. Semuanya butuh tersenyum karena ada pelangi setelah badai dan mendung di singgasana hatimu. Janji yang selalu pasti.


The palce that no eye has ever seen, the place that no heart has ever perceived. The place we've been promise to live in forever, the best of all. Paradise..Maherzain

 we'll be there together soon, to meet your father with pleased be upon.


Quu Amfusakum #PenaKamiTidakPuasa


Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras, lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(Qur’an Surat 66 (At-Tahrim): ayat 6)


Bagaimanapun jua, dikala kita merasakan aman. Ada banyak kata yang harus terus dihujamkan hingga hati terkadang terasa begitu tergerus dan haus. Ada masa dimana selain menyambung wajah untuk saling bertatap, perlu memikirkan bagaimana kita bisa memiliki hati yang nyaman bersama saudara yang dapat saling mengingatkan. Adapula keinginan nyaman bagi kita itu, membuat saudara kita ingin memutuskan jabatan tali kesetiaan persaudaraan kala kata tak bisa mewakili walau hanya doa.

Jika kebiasaan telah menjadi biasa dan menimbulkan salah, terkadang ia tertutup serapat-rapatnya. Karena terdapat sebuah ibarat yang yang dituturkan,

Jika tapak kaki kita sudah keras, pijak paku dan duri pun tidak terasa apa sebab tumitnya sudah keras. Tapi kalau tapak kaki lembut, terpijak duri sedikit saja sudah berdarah. Demikian jugalah hati, kalau ia sudah keras tak terasa lagi bersalah jika berbuat dosa. TG Nik Abdul Aziz

Kita yang selalu tahu bahwa tak semuanya mampu dengan tindakan yang preventif dan saat kita tahu bahwa kita disisi yang lemah, akan ada selalu langkah yang ingin disampaikanNya untuk menengadahkan tangan. Menengadah meminta sedikit atau banyak. Ia tentu menerima. Begitulah ketika tak mampu.

Terlepas dari itulah, cintamu akan selalu ditagih olehNya. Cinta pada sanak saudaramu, sanak familimu. Cinta yang selalu dipertaruhkan paling utama. Jika ia maksum berbuat maksiat, kala ia keras bagai tapak kaki yang telah terbiasa. Selamanya adalah tugasmu, walau hanya tinggal doa kala itu. Karena banyak yang berpeluh soal kesanggupan dan kelelahan. Sanggup hingga terlalu dina dimata sanakmu sebab seolah mengkafirkan perbuatannya, lelahmu hingga kita kelak membiarkannya tenggelam dalam dalamnya semburat api nyala.

Lantas apa?

Quu Amfusakum.. Jagalah keluargamu, wa ahlikum naaraa, dari api neraka. Sejak dahulu engkau bersamanya dan berlalulah susah beserta senang bersamanya. Aku ingin selalu cukup menasehatinya tiga kali. Tapi, Tuhan katakan tidak. Bagaimana rasanya jika engkau disurga disaat bahkan sanakmu tidak ikut masuk bersamamu? Ia tenggelam dalam keniscayaannya yang begitu menydihkan, apakah ia ayahmu? Ia dahulu memberi azan di telingamu yang paling kanan dan menafkahi ragamu agar engkau menjaga ruhmu, atau ibumu yang jasanya melahirkanmu tidak sebanding dengan kebaikan dalam bentuk apapun, bagaimana jika ia saudara kandungmu? Yang menghabiskan waktu untuk saling menjaga, membantu ibu ketika susah memeliharamu sedari kecil, membantu mengerjakan tugasmu, dan memberi pelipur rasa bahagia dalam pertemanan siang dan malam. Lalu, meninggalkannya dalam bahaya?

Jagalah keluargamu. Ialah harta yang kau temui didunia, harta yang dititipkan. Engkau memilikinya. Sebagaimana engkau takut dicampakkan ke dalam siksanya begitulah seharusnya engkau mencintai saudaramu. Tariklah ia ke pangkuanmu.

....................... #PenaKamiTidakPuasa


Al-Qur'an sebagai perisai, ibarat madu yang  termanis daripada madu Zainab, syair yang tidak ditemukan lebih indah selainnya, as-syifa bagi hati -hati dan jiwa-jiwa yang mulai durjana, sempit, dan terhimpit. Dia lah pembuka rasa hampa menjadikan bahagia dalam denyut dan air suci. Air suci  yang syahdu menemani lantunan dan damai menyertai. Duhai Allah. Bagaimana aku mendustai surat cintamu?

Demi namaKu (Engkau berkata), "Bacalah". Aku mulai membacanya sedari hati mengetuk. Duhai hati diliput damai, perlahan ku dayuh makna yang sempurna. Di sana ada harapan terbaru yang sekejap masuk dan mengubah letak. Aku melihat padang yang luas, tempat berkumpulnya para keluarga-keluarga Allah di bumi. Di sana aku menemukan semuanya berdiri menghadap Allah yang pengasih, Tuhan segala ciptaan. Semua yang dirasa merasuk malu, terjamah sesal hebat. Pecahlah pula sesak tangis seakan hati ihsan, melihatmu sedekat yang melebihi urat nadi. Membayang sisa-sisa lama yang enggan, kini dengan menjamah ayat "Bacalah", Engkau(Allah) berkata. Kemudian bulir air terjatuh. Allaahhh.... Allaaaahh... ya Kabiiirrr...

Kemudian aku buka segera, aku lantangkan tangan menunjuk, kaki yang terhimpit dan tumit menghitamkan dirinya, ku buka mata selayaknya ingin segera, lembar tergegas, semakin bergegas, semakin mengalun deras, semakin kuat kubuka, ketukan.

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat menguasainya." Al-Qiyamah: 16

Hatinya manusia yang melambung di atas tubuhnya.