Kini bertepatan saat Aku masih menjadi bocah. Bocah kecil
yang masih bergantung sepenuhnya dari sisi-sisi keluarga. Saya mengerti
keberadaan anak seusia saya hanya akan menambah soal gurauan bahan bicara
orang-orang dewasa. Sebagian orang dewasa ini merasa tidak ingin kembali
menjadi bocah, mungkin tepatnya demikian karena kenyataannyapun tidak mungkin.
Seorang yang telah dewasa mungkin akan terlihat abstrak bagi sosok anak kecil
yang belum paham benar. Akan tetapi, anak kecil boleh saja tidak paham sekarang
apa yang ia lihat, namun esok atau lusa ia akan mengerti bahwa menjadi dewasa
adalah hukuman berat bagi mereka yang menistai kehidupan mereka masing-masing.
Sebagai
anak yang masih kecil yang penuh dengan celotehan khas. Aku tidak peduli soal
hari ini akan makan apa. Menurutku nasi ditaburi garam itu sudah luar biasa
enaknya. Tapi, jika aku masuk tanamn kanak-kanak , aku cenderung jadi bahan
bicara guru karena makan ada satu yang tidak bisa diungkapkan bahagianya oleh
orang dewasa yang memiliki bocah kecil. Saya merasa dinanti oleh mereka.
Waktu
itu Aku adalah belasan dan masih diajarkan mengaji di kampungku sendiri. Oh,
bahagianya. Mengaji ini mengundang banyak teman yangluar biasa hebatnya.
Mengaji adalah tuntunan yang harus ditunaikan orang tua kepada anaknya dan
Akupun merasa tidak terpaksa untuk pergi mengaji kecuali kalau sedang marahan
dengan teman atau sereal tv sore kartun anak-anak bukan karena sakit bahkan
tidak terprediksi disaat sakitpun tidak menghalang kepergian. Sungguh masih
lugunya untuk tahu soal demikian.
Jika
pada kesempatan waktu disore untuk mengaji Aku akan selalu bawa tas yang penuh
isinya dan selalu meletakkannya dengan merebut tempat dengan teman untuk
menaruh tas pada posisi yang nyaman , namun belum tentu isi di dalam tasnya itu
benar-benar Aku perlukan, tidak semua barang di dalam tasku itu berhubungan
dengan alat pendukung untukku bisa mengaji, bahkan membawa iqro’ saja terkdang
sudah lupa, namun seperti pensil yang tidak punya anak matanya untuk menulis
selalu Aku selipkan. Selalu pinjam-pinjam alat teman. Jelas, teman tidak mau
meminjamkan setiap hari. Jadi, sasarannya yan tentu pinjam pena atau pensil
punya uztazahku.
Jika
dahulu mengaji di balai-balai pengajian, selalu terselip kesan bahagia, oh
mengapa? Karena setiap akan masuk ke kelas dan yakni bertepatan dengan waktu
sesudah shalat ashar berjama’ah, uztad yang memimpin anak kecil untuk shalat
sebagai imam selalu memberikan suri tauladan dan para setiap para uztazah
selalu sebelum sampai menuju tempat kami
menngaji bergiliran membuat kue gratis yang akan dimakan untuk seluruh anak
yang mengaji dan uztad utama kami dibalai. Sesekali kami mendapat bubur kacang
hijau di mangkuk plastic, aduhai enaknya. Saya rasa kegiatan yang rutin membuat
kue dari uztazah sendiri adalah soal keikhlasan berbagi, setiap harinya para
uztazah mengumpulkan pahala yang tiada batas. Mayoritas guru mengaji kami jelas
adalah uztazah, uztad yang mampu bertahan adalah hanya dua sampai tiga. Tidak
berlebihan pula, memang begitu adanya. Perlu diakui, jumlah perempuan yang
berbuat baik itu lebih banyak dan dikarenakan jumlah perempuan di muka bumi ini
pun memenuhi singgasana tanah, jika benar.
Kami
sesuai tingkatan memasuki kelas dengan pembagian ustad dan uztadzah
masing-masing. Kami semua mulai mengenal semua uztadz dan uztadzah dengan
sangat baik. Uztad kami bernama tamarung mayafatah dan uztadzah bernama larung
fardisa. Keduanya memiliki nama yang berakhiran –ung. Tapi, bukan soal nama
yang penting. Mereka adalah petuah kami yang sangat kami nantikan sikelas
setiap saat selesai mengaji. Mereka sangat dikenal baik di dalam lingkungan
sekitaran kampung pengajian. Selain fasih membaca kitab jowo untuk kami mereka
sangat terampil menghadapi anak-anak.
Mereka
berbulan-bulan lamanya berhasil mendidik kami menjadi santriwan dan santriwati
yang andal dan fasih membaca Qur’an,
tajwid, materi hafalan, fiqih bersuci dan wejangan kitab dasar kami. Setiap
Ramadhan, kami tidak lupa bertadarus khusus perempuan dengan uztazah yang
lainnya. Semua terasa solid.
Namun,
hari cukup berlalu, sang uztazah kini sudah hampir memasuki kepala tiga. Kami
mengerti keadaannya yang belum juga menikah. Uztazah Larung kini akan segera
menikah dengan lelaki yang ia kenal tidak jauh dari pengajian. Ahmad Rey. Semua
pengajian menyambut baik keinginannya yang ingin segera bertemu dalam
pelaminan. Kami akan segera berganti uztazah baru.
Tepat
pada hari jum’at, pernikahan berlangsung dengan hikmat di Masjid Jami’ kota.
kami khusus didikannya menghadiri pernikahannya. Pada hari yang ditentukan juga
sekaligus acara pesta mengikutinya sepulang menikah. Kami pun suka senang
mampir.
Kami,
mulai mengganti uztazah untuk sementara. Uztazah soroh. Uztazah ini yang
kemudian menggantikan kami belajar dalam tingkatan yang semakin menunjang. Kami
mengira uztazah kami akan kembali mengajar, tampaknya tidak. Setelah mendengar
kabar beberapa bulan kemudian bahwa ia mengandung. Kami mendengar beliau
mengandung dan sehat.
Setelah
satu bulan kemudian kami mendnegar dari kampung sebelah yakni sekitaran rumah
beliau bahwa beliau tidak berhasil mempertahankan kandungan pertamanya. Beliau
dinyatakan hamil anggur. Kami paham hamilnya tersebut membuatnya harus
menggugurkan kandungannya. Sungguh mebgitu miris. Kabar bahagia kembali hancur
dengan ketidakhadirannya snag buah hati.
“saya tidak percaya dengan dokter, banyak sekali saat ini
dokter yang tidak berhasil menangani pasien dengan baik. Saya yakin anak saya
baik-baik saja dalam rahim ini, tidak aka nada hamil anggur sor.”
Ungkap
uztazah larung kepada uztazah Soroh yang kudengar percakapannya dibalik
pertemuan singkatnya dipengajian saat anak mengaji mulai pulang dan aku sendiri
belum dijemput. Aku sendiri mondar-mandir pura-pura tidak tahu dan menguping
dari balik dinding kelas. Beginilah aku anak kecil yang suka menguping.
Berhari-hari
ia semakin tahu bahwa Larung berada dalam kasus berbahaya. Akupun mencoba
menceritakan kepada Ibuku bahwa ibuku mengatakan hal yang sama. Bahwa
penyakitnya dapat menyebabkan ia meninggal dunia jika tidak digugurkan.
Kini
usia kehamilan semakin meningkat. Orang sekampung semakin ssulit melihat
keadaannya yang berkeras hati. Kini umur usia kehamilannya genap dua belas
bulan. Setiap orang kampung yang melihat merasa terheran-heran. Apakah ada umur
kandungan dua belas bulan? Yang benar saja? Rasa-rasnya tidak mungkin.
Tidak
hanya kampungnya yang menjadi risau. Perhatian kampung sebelahpun mulai menyusup dalam telinga dan keprihatianan
seluruh wargapun ikut bercampur.
“Larung, Aku takut sekali dengan kabarmu. Sebaiknya kamu
menggugurkan kandunganmu. Janganlah engkau berkeras hati. Kami semua
menyanyangimu” sahut warga kampung kepada wanita kampung seberangnya yang
bernama Larung.
“Tidak Bu RT. Aku baik-baik saja. Bahkan Aku sendiri pernah
mengetahui bahwa ada ulama yang usia kandungan dalam rahim ibunya selama hampir
dua tahun.” Sahut uztazah Larung yang semakin tidak masuk dalam akal.
Semua
warga panik dan Ibu sang Uztazah merasa berat menyikapi sikap anaknya yang
berkeras diri. Semua terasa pasrah untuk mempengaruhi pendiriannya. Semua warga
tidak lagi punya daya. Mereka akhirnya membiarkan pendirian Uztazah Larung yang
mulai yakin, namun tidak masuk akal bagi mereka sama sekali. Bahkan mereka
hampir tidak mempedulikannya lagi.
-0-
Kini
usia kandugan sang uztazah menyambut tiga belas bulan. Kini bayinya lahir dan
mulai tumbuh dalam rawatan asi yang mengalir deras dari sang ibu. Anaknya
adalah seorang perempuan. Semakin warga kampung dibuatnya terkejut. Ah, yang
benar saja? Rasanya tidak mungkin kejadian itu ada. Tapi buktinya sang bayi
lahir sehat.
Oh
uztazah mulai baik-baik saja. Bahkan tidak sedikitpun ia merasakan tanda-tanda
kematian seprti prediksi wajahnya. Ibu sang Uztazahpun hanya bisa canggung
melihat kisah kelahiran sang cucu.
Bisa
dipastikan uztazah tidak kembali mengajar semenjak ia menikah. Ia berhenti.
Bahkan dipastikan kini ia kembali merajut kisah bersama anugerah terbarunya
dari sang Maha Kuasa, seorang bayi yang sehat yang lahir dalam jangka waktu
yang sangat lama. Penantian yang sangat lama untuk melahirkannya.
Kini
umur bayi memasuki umur dua bulan. Ia sang Larung. Membisikkkan kepada ibu saat
membereskan popok bayi.
“Bu.. sesungguhnya dahulu aku telah gugur saat kutahu aku
sakit, usia tiga bulan rajutan kebahagiaan. Kemudian berselang dua bulan aku
kembali mengandung. Sungguh, umur bayiku normal, bukan tiga belas bulan. Aku
hanya ingin warga kampung dan Ibu sekalipun ikut campur masalah rumah tangga
orang lain.” ucapnya
“tapi, nak! Bagaimana kabar baik itu tidak engkau beri tahu
saja? Mengapa engkau menyembunyikannya sehingga timbul curiga seluruh warga
kampung? Bukankah ini namanya penipuan masal?” ibu mulai menajamkan wajah dan
menaruh benci.
Sungguh,
Kabar baik selalu menuai doa. Menumbuhkan rasa bahagia. Selamanya. Wahai,
uztazah Larung, wanita kampung seberang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar