Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Larung


Kini bertepatan saat Aku masih menjadi bocah. Bocah kecil yang masih bergantung sepenuhnya dari sisi-sisi keluarga. Saya mengerti keberadaan anak seusia saya hanya akan menambah soal gurauan bahan bicara orang-orang dewasa. Sebagian orang dewasa ini merasa tidak ingin kembali menjadi bocah, mungkin tepatnya demikian karena kenyataannyapun tidak mungkin. Seorang yang telah dewasa mungkin akan terlihat abstrak bagi sosok anak kecil yang belum paham benar. Akan tetapi, anak kecil boleh saja tidak paham sekarang apa yang ia lihat, namun esok atau lusa ia akan mengerti bahwa menjadi dewasa adalah hukuman berat bagi mereka yang menistai kehidupan mereka masing-masing.


                Sebagai anak yang masih kecil yang penuh dengan celotehan khas. Aku tidak peduli soal hari ini akan makan apa. Menurutku nasi ditaburi garam itu sudah luar biasa enaknya. Tapi, jika aku masuk tanamn kanak-kanak , aku cenderung jadi bahan bicara guru karena makan ada satu yang tidak bisa diungkapkan bahagianya oleh orang dewasa yang memiliki bocah kecil. Saya merasa dinanti oleh mereka.

                Waktu itu Aku adalah belasan dan masih diajarkan mengaji di kampungku sendiri. Oh, bahagianya. Mengaji ini mengundang banyak teman yangluar biasa hebatnya. Mengaji adalah tuntunan yang harus ditunaikan orang tua kepada anaknya dan Akupun merasa tidak terpaksa untuk pergi mengaji kecuali kalau sedang marahan dengan teman atau sereal tv sore kartun anak-anak bukan karena sakit bahkan tidak terprediksi disaat sakitpun tidak menghalang kepergian. Sungguh masih lugunya untuk tahu soal demikian.

                Jika pada kesempatan waktu disore untuk mengaji Aku akan selalu bawa tas yang penuh isinya dan selalu meletakkannya dengan merebut tempat dengan teman untuk menaruh tas pada posisi yang nyaman , namun belum tentu isi di dalam tasnya itu benar-benar Aku perlukan, tidak semua barang di dalam tasku itu berhubungan dengan alat pendukung untukku bisa mengaji, bahkan membawa iqro’ saja terkdang sudah lupa, namun seperti pensil yang tidak punya anak matanya untuk menulis selalu Aku selipkan. Selalu pinjam-pinjam alat teman. Jelas, teman tidak mau meminjamkan setiap hari. Jadi, sasarannya yan tentu pinjam pena atau pensil punya uztazahku.

                Jika dahulu mengaji di balai-balai pengajian, selalu terselip kesan bahagia, oh mengapa? Karena setiap akan masuk ke kelas dan yakni bertepatan dengan waktu sesudah shalat ashar berjama’ah, uztad yang memimpin anak kecil untuk shalat sebagai imam selalu memberikan suri tauladan dan para setiap para uztazah selalu sebelum sampai menuju  tempat kami menngaji bergiliran membuat kue gratis yang akan dimakan untuk seluruh anak yang mengaji dan uztad utama kami dibalai. Sesekali kami mendapat bubur kacang hijau di mangkuk plastic, aduhai enaknya. Saya rasa kegiatan yang rutin membuat kue dari uztazah sendiri adalah soal keikhlasan berbagi, setiap harinya para uztazah mengumpulkan pahala yang tiada batas. Mayoritas guru mengaji kami jelas adalah uztazah, uztad yang mampu bertahan adalah hanya dua sampai tiga. Tidak berlebihan pula, memang begitu adanya. Perlu diakui, jumlah perempuan yang berbuat baik itu lebih banyak dan dikarenakan jumlah perempuan di muka bumi ini pun memenuhi singgasana tanah, jika benar.

                Kami sesuai tingkatan memasuki kelas dengan pembagian ustad dan uztadzah masing-masing. Kami semua mulai mengenal semua uztadz dan uztadzah dengan sangat baik. Uztad kami bernama tamarung mayafatah dan uztadzah bernama larung fardisa. Keduanya memiliki nama yang berakhiran –ung. Tapi, bukan soal nama yang penting. Mereka adalah petuah kami yang sangat kami nantikan sikelas setiap saat selesai mengaji. Mereka sangat dikenal baik di dalam lingkungan sekitaran kampung pengajian. Selain fasih membaca kitab jowo untuk kami mereka sangat terampil menghadapi anak-anak.

                Mereka berbulan-bulan lamanya berhasil mendidik kami menjadi santriwan dan santriwati yang  andal dan fasih membaca Qur’an, tajwid, materi hafalan, fiqih bersuci dan wejangan kitab dasar kami. Setiap Ramadhan, kami tidak lupa bertadarus khusus perempuan dengan uztazah yang lainnya. Semua terasa solid.

                Namun, hari cukup berlalu, sang uztazah kini sudah hampir memasuki kepala tiga. Kami mengerti keadaannya yang belum juga menikah. Uztazah Larung kini akan segera menikah dengan lelaki yang ia kenal tidak jauh dari pengajian. Ahmad Rey. Semua pengajian menyambut baik keinginannya yang ingin segera bertemu dalam pelaminan. Kami akan segera berganti uztazah baru.

                Tepat pada hari jum’at, pernikahan berlangsung dengan hikmat di Masjid Jami’ kota. kami khusus didikannya menghadiri pernikahannya. Pada hari yang ditentukan juga sekaligus acara pesta mengikutinya sepulang menikah. Kami pun suka senang mampir.

                Kami, mulai mengganti uztazah untuk sementara. Uztazah soroh. Uztazah ini yang kemudian menggantikan kami belajar dalam tingkatan yang semakin menunjang. Kami mengira uztazah kami akan kembali mengajar, tampaknya tidak. Setelah mendengar kabar beberapa bulan kemudian bahwa ia mengandung. Kami mendengar beliau mengandung dan sehat.

                Setelah satu bulan kemudian kami mendnegar dari kampung sebelah yakni sekitaran rumah beliau bahwa beliau tidak berhasil mempertahankan kandungan pertamanya. Beliau dinyatakan hamil anggur. Kami paham hamilnya tersebut membuatnya harus menggugurkan kandungannya. Sungguh mebgitu miris. Kabar bahagia kembali hancur dengan ketidakhadirannya snag buah hati. 

“saya tidak percaya dengan dokter, banyak sekali saat ini dokter yang tidak berhasil menangani pasien dengan baik. Saya yakin anak saya baik-baik saja dalam rahim ini, tidak aka nada hamil anggur sor.”

 Ungkap uztazah larung kepada uztazah Soroh yang kudengar percakapannya dibalik pertemuan singkatnya dipengajian saat anak mengaji mulai pulang dan aku sendiri belum dijemput. Aku sendiri mondar-mandir pura-pura tidak tahu dan menguping dari balik dinding kelas. Beginilah aku anak kecil yang suka menguping.

                Berhari-hari ia semakin tahu bahwa Larung berada dalam kasus berbahaya. Akupun mencoba menceritakan kepada Ibuku bahwa ibuku mengatakan hal yang sama. Bahwa penyakitnya dapat menyebabkan ia meninggal dunia jika tidak digugurkan.

                Kini usia kehamilan semakin meningkat. Orang sekampung semakin ssulit melihat keadaannya yang berkeras hati. Kini umur usia kehamilannya genap dua belas bulan. Setiap orang kampung yang melihat merasa terheran-heran. Apakah ada umur kandungan dua belas bulan? Yang benar saja? Rasa-rasnya tidak mungkin.

                Tidak hanya kampungnya yang menjadi risau. Perhatian kampung sebelahpun mulai  menyusup dalam telinga dan keprihatianan seluruh wargapun ikut bercampur.

“Larung, Aku takut sekali dengan kabarmu. Sebaiknya kamu menggugurkan kandunganmu. Janganlah engkau berkeras hati. Kami semua menyanyangimu” sahut warga kampung kepada wanita kampung seberangnya yang bernama Larung.

“Tidak Bu RT. Aku baik-baik saja. Bahkan Aku sendiri pernah mengetahui bahwa ada ulama yang usia kandungan dalam rahim ibunya selama hampir dua tahun.” Sahut uztazah Larung yang semakin tidak masuk dalam akal.

                Semua warga panik dan Ibu sang Uztazah merasa berat menyikapi sikap anaknya yang berkeras diri. Semua terasa pasrah untuk mempengaruhi pendiriannya. Semua warga tidak lagi punya daya. Mereka akhirnya membiarkan pendirian Uztazah Larung yang mulai yakin, namun tidak masuk akal bagi mereka sama sekali. Bahkan mereka hampir tidak mempedulikannya lagi.
-0-
                Kini usia kandugan sang uztazah menyambut tiga belas bulan. Kini bayinya lahir dan mulai tumbuh dalam rawatan asi yang mengalir deras dari sang ibu. Anaknya adalah seorang perempuan. Semakin warga kampung dibuatnya terkejut. Ah, yang benar saja? Rasanya tidak mungkin kejadian itu ada. Tapi buktinya sang bayi lahir sehat.

                Oh uztazah mulai baik-baik saja. Bahkan tidak sedikitpun ia merasakan tanda-tanda kematian seprti prediksi wajahnya. Ibu sang Uztazahpun hanya bisa canggung melihat kisah kelahiran sang cucu.

                Bisa dipastikan uztazah tidak kembali mengajar semenjak ia menikah. Ia berhenti. Bahkan dipastikan kini ia kembali merajut kisah bersama anugerah terbarunya dari sang Maha Kuasa, seorang bayi yang sehat yang lahir dalam jangka waktu yang sangat lama. Penantian yang sangat lama untuk melahirkannya.

                Kini umur bayi memasuki umur dua bulan. Ia sang Larung. Membisikkkan kepada ibu saat membereskan popok bayi.

“Bu.. sesungguhnya dahulu aku telah gugur saat kutahu aku sakit, usia tiga bulan rajutan kebahagiaan. Kemudian berselang dua bulan aku kembali mengandung. Sungguh, umur bayiku normal, bukan tiga belas bulan. Aku hanya ingin warga kampung dan Ibu sekalipun ikut campur masalah rumah tangga orang lain.” ucapnya

“tapi, nak! Bagaimana kabar baik itu tidak engkau beri tahu saja? Mengapa engkau menyembunyikannya sehingga timbul curiga seluruh warga kampung? Bukankah ini namanya penipuan masal?” ibu mulai menajamkan wajah dan menaruh benci.

                Sungguh, Kabar baik selalu menuai doa. Menumbuhkan rasa bahagia. Selamanya. Wahai, uztazah Larung, wanita kampung seberang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar