Bunda,
Ayah boleh jadi dahulu aku dalam rangkulanmu, aku manja, manja sekali. Bunda,
Ayah boleh jadi kala itu selalu perlakuanku membuatmu takjub dan merasa bahagia
membawa penat diubahnya. Bunda, Ayah, boleh jadi hari itu aku mampu membawa
kenangan bersamamu dalam perjalanan dan sulit untuk ditinggalkan, namun
semuanya ingin aku ada dan menjadi saksi cinta ayah dan bunda. Bunda dan ayah
sungguh pasti lebih tahu tingkah kami yang layu, berbohong padahal engkau tahu.
Kami semakin lugu saat kami tertipu karena engkau semakin ragu karena kami
kaku. Bunda dan ayah lebih tahu kami masa itu. Bunda dan ayah tahu bulir padi
apa yang cocok untuk perutku sehingga aku tumbuh gencar seperti bidadara-bidadari
inginmu. Kami semakin tahu, semua karena kami memilikimu sejak dahulu. Mulai kami
mengencangkan suara “oeek”, bunda yang ku panggil “nda”, ayah dengan suara
lantang jika kami kecewa dan terjatuh
“ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh....ayahhhhhhhhhhhhhh”, kami menangis memanggil
ayah. Kami ingat sekali, kami sedang membayangkan saat ini. Bunda, ayah betapa
rasanya tidak mampu untuk dijelaskan. Indah bukan saja terkenang, namun
membayang karena tak mungkin terulang bukan?.
Bunda suguhkan cinta. Ayah
menegakkannya. Cinta yang kini berdikari dalam pusara hati kakanda dan ananda.
Betapa tahu kami tak pandai membaca cinta dan tak sempat melihat cinta itu
sedang berjelaga terang pada masanya, karena yang kami tahu saat itu apapun
yang diajarkan kami tidak percaya. Kami lebih memilih tidak merasa, kami lebih
memilih tidak peka dan pergi saat engkau menjaga, kami abaikan. Bunda, ayah
tiada yang tahu waktu yang berputar itu. Kami hanya tahu semuanya tidak akan
meminta kembali. Cinta yang tidak kami temukan serupa sama.
Bunda, ayah tidak mungkin engkau
menyerah. Kami melihatmu. Kesungguhanmu yang lama menanti. Kami dikuatkan
masing-masing dari perantara kesempatan yang engkau punya. Kami adalah sesuatu
benih yang disemai ditempat yang paling subur dahulunya dalam rahim. Subur
sekali sehingga kami masuk sebagai juara
dari jutaan saudara-saudara yang tidak beruntung dan kini tetap menjadi
juara hingga kami tumbuh dari substansi-substansi yang berbeda. Tanah yang dib
akar (Ar-Rahman-14), Tanah kering dan lumpur (Al-Hijr-28), tanah (Ali-Imran-59,
As-Sajdah-7), tanah liat (As-Shaffaat-11). Ilustrasi bagi para ilmuan bahwa tanah-tanah
Carbonium, Nitrogenium, Hidrogenium, dan Ferrum yang telah disatu padukan dalam
bentuk yang sebaik-baiknya, fii ahsani
taqwim. Kami hidup dari substansi berbeda, namun kami disebut Manusia. Sejak
itu, sejak aku tumbuh dengan sebaik-sebaiknya dan engkau memperjuangkan bentuk
itu hingga semua merasa ruh kami hidup hingga saat berjalan menelusuri jejak
bumi Tuhan. Karena kesempatan kebaikanmu kami mengenal Tuhan kami.
Bunda, ayah kami lahir. Kami telah
lahir. Kami semakin tumbuh, kami semakin berbeda. kami semakin tumbuh besar
sedang kami lupa kala itu juga engkau semakin menua. Bunda ayah kami sudah
besar, kami merasa waktu-waktu telah berlalu begitu saja. Bagaimana cinta mampu
kami tuangkan kembali agar tak mati kami yang memiliki rasa. Rasanya kami tak
kuasa menuangkan dimana semestinya semuanya dapat berbalas, tidak. bagaimana
mungkin kami diliputi semua bayang-bayang saat kami tak bisa membuat bibirmu
berbulan sabit dan lebih sabit. Mata menitik, hilang sudah kepercayaan kata
pada bahasa yang kami punya semestinya. Hingga hanya doa. Kami tak mampu
memelukmu lebih erat sedari dulu. Seerat yang kami mau.
Pada jalan yang mungkin terang,
pada jalan yang mungkin gelap. Kami tersandung karena sifat kami yang meradang
atau terkadang sifat kami mulai berlari lincah bunda, ayah. Kami meradang keras
pada sesuatu yang engkau tahu yang kami butuhkan sedang kami mengilustrasikan
sebagian darinya adalah jalan kekejaman. Atau Lincah langkah membuatmu tertawa
dan bersenandung manis pada hati-hatimu yang manis. Kami hanya panjatkan maaf
jika luka. Bunda, ayah salahmu adalah engkau dan rabb, sedang kami kepadamu
adalah perantara langit dan bumi, tidak mungkin sampai tanpa perantara maaf.
Hingga pada suatu masa. Kami
cukup berdiri. Cukup menopang tegak tulang dan badan. Jangan mampukan kami
Tuhan meninggalkannya sendiri dalam langkah yang setengah badan atau setengah
dari jiwa yang telah hilang lama. Atau jika keduanya telah tiada, mampukan kami
untuk dijauhkan dari keterlalaian dalam doa-doa penenang malam dan tanpa
mengabaikan siang. Kami rindu. Kami rindu.. kami mencintai mereka dan yang kami
inginkan selalu.
Jika mungkin dahulu kami
dilindungi dan kali ini mampu saja semua mencerca hati-hati kami. Kami semakin
tahu manusia tak selama membantu manusia. Hati-hati kami yang dahulu lugu mulai
mengeras menahan cerca dan melunak ketika semuanya mulai harus dicairkan
kembali dari pembatuan. Sayang sekali. Jika hati kami yang mulai kecewa dari
sikap-sikap manusia, brutal, marah, merasa manusia menyia-nyiakan. Kami
terbekuk, kami menunduk, kami singkap dalam sujud. Ternyata kami seonggokan
daging yang diberi nyawa.(As-Sajdah 32:7).
Ibu, ayah... terlalu banyak
kisahmu. Semoga kita berjumpa dalam surga Allah yang maha Luas dan tak
terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar