Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Catatan Hati Kita


Bunda, Ayah boleh jadi dahulu aku dalam rangkulanmu, aku manja, manja sekali. Bunda, Ayah boleh jadi kala itu selalu perlakuanku membuatmu takjub dan merasa bahagia membawa penat diubahnya. Bunda, Ayah, boleh jadi hari itu aku mampu membawa kenangan bersamamu dalam perjalanan dan sulit untuk ditinggalkan, namun semuanya ingin aku ada dan menjadi saksi cinta ayah dan bunda. Bunda dan ayah sungguh pasti lebih tahu tingkah kami yang layu, berbohong padahal engkau tahu. Kami semakin lugu saat kami tertipu karena engkau semakin ragu karena kami kaku. Bunda dan ayah lebih tahu kami masa itu. Bunda dan ayah tahu bulir padi apa yang cocok untuk perutku sehingga aku tumbuh gencar seperti bidadara-bidadari inginmu. Kami semakin tahu, semua karena kami memilikimu sejak dahulu. Mulai kami mengencangkan suara “oeek”, bunda yang ku panggil “nda”, ayah dengan suara lantang jika kami kecewa dan terjatuh “ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh....ayahhhhhhhhhhhhhh”, kami menangis memanggil ayah. Kami ingat sekali, kami sedang membayangkan saat ini. Bunda, ayah betapa rasanya tidak mampu untuk dijelaskan. Indah bukan saja terkenang, namun membayang karena tak mungkin terulang bukan?.

                Bunda suguhkan cinta. Ayah menegakkannya. Cinta yang kini berdikari dalam pusara hati kakanda dan ananda. Betapa tahu kami tak pandai membaca cinta dan tak sempat melihat cinta itu sedang berjelaga terang pada masanya, karena yang kami tahu saat itu apapun yang diajarkan kami tidak percaya. Kami lebih memilih tidak merasa, kami lebih memilih tidak peka dan pergi saat engkau menjaga, kami abaikan. Bunda, ayah tiada yang tahu waktu yang berputar itu. Kami hanya tahu semuanya tidak akan meminta kembali. Cinta yang tidak kami temukan serupa sama.

                Bunda, ayah tidak mungkin engkau menyerah. Kami melihatmu. Kesungguhanmu yang lama menanti. Kami dikuatkan masing-masing dari perantara kesempatan yang engkau punya. Kami adalah sesuatu benih yang disemai ditempat yang paling subur dahulunya dalam rahim. Subur sekali sehingga kami masuk sebagai juara  dari jutaan saudara-saudara yang tidak beruntung dan kini tetap menjadi juara hingga kami tumbuh dari substansi-substansi yang berbeda. Tanah yang dib akar (Ar-Rahman-14), Tanah kering dan lumpur (Al-Hijr-28), tanah (Ali-Imran-59, As-Sajdah-7), tanah liat (As-Shaffaat-11). Ilustrasi bagi para ilmuan bahwa tanah-tanah Carbonium, Nitrogenium, Hidrogenium, dan Ferrum yang telah disatu padukan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, fii ahsani taqwim. Kami hidup dari substansi berbeda, namun kami disebut Manusia. Sejak itu, sejak aku tumbuh dengan sebaik-sebaiknya dan engkau memperjuangkan bentuk itu hingga semua merasa ruh kami hidup hingga saat berjalan menelusuri jejak bumi Tuhan. Karena kesempatan kebaikanmu kami mengenal Tuhan kami.

                Bunda, ayah kami lahir. Kami telah lahir. Kami semakin tumbuh, kami semakin berbeda. kami semakin tumbuh besar sedang kami lupa kala itu juga engkau semakin menua. Bunda ayah kami sudah besar, kami merasa waktu-waktu telah berlalu begitu saja. Bagaimana cinta mampu kami tuangkan kembali agar tak mati kami yang memiliki rasa. Rasanya kami tak kuasa menuangkan dimana semestinya semuanya dapat berbalas, tidak. bagaimana mungkin kami diliputi semua bayang-bayang saat kami tak bisa membuat bibirmu berbulan sabit dan lebih sabit. Mata menitik, hilang sudah kepercayaan kata pada bahasa yang kami punya semestinya. Hingga hanya doa. Kami tak mampu memelukmu lebih erat sedari dulu. Seerat yang kami mau.

                Pada jalan yang mungkin terang, pada jalan yang mungkin gelap. Kami tersandung karena sifat kami yang meradang atau terkadang sifat kami mulai berlari lincah bunda, ayah. Kami meradang keras pada sesuatu yang engkau tahu yang kami butuhkan sedang kami mengilustrasikan sebagian darinya adalah jalan kekejaman. Atau Lincah langkah membuatmu tertawa dan bersenandung manis pada hati-hatimu yang manis. Kami hanya panjatkan maaf jika luka. Bunda, ayah salahmu adalah engkau dan rabb, sedang kami kepadamu adalah perantara langit dan bumi, tidak mungkin sampai tanpa perantara maaf.

                Hingga pada suatu masa. Kami cukup berdiri. Cukup menopang tegak tulang dan badan. Jangan mampukan kami Tuhan meninggalkannya sendiri dalam langkah yang setengah badan atau setengah dari jiwa yang telah hilang lama. Atau jika keduanya telah tiada, mampukan kami untuk dijauhkan dari keterlalaian dalam doa-doa penenang malam dan tanpa mengabaikan siang. Kami rindu. Kami rindu.. kami mencintai mereka dan yang kami inginkan selalu.

                Jika mungkin dahulu kami dilindungi dan kali ini mampu saja semua mencerca hati-hati kami. Kami semakin tahu manusia tak selama membantu manusia. Hati-hati kami yang dahulu lugu mulai mengeras menahan cerca dan melunak ketika semuanya mulai harus dicairkan kembali dari pembatuan. Sayang sekali. Jika hati kami yang mulai kecewa dari sikap-sikap manusia, brutal, marah, merasa manusia menyia-nyiakan. Kami terbekuk, kami menunduk, kami singkap dalam sujud. Ternyata kami seonggokan daging yang diberi nyawa.(As-Sajdah 32:7).

                Ibu, ayah... terlalu banyak kisahmu. Semoga kita berjumpa dalam surga Allah yang maha Luas dan tak terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar