Semua akan dapat dikatakan kehadiran seorang anggota
keluarga baru adalah kabar membahagiakan.
Siapakah seorang ayah yang tidak ingin memiliki anak perempuan yang
manis untuk pelipur matanya bermain kala istirahat dari pekerjaan dan
melambung-lambung tinggi anaknya ke langit-langit karena rentan tertawanya yang
semakin lucu dan menggemaskan, luar biasa harapannya atas kelahiran anak
terlebih perempuan. Semakin di lambung tinggi semakin sang anak menghasilkan
bahan tawa dengan wajah mungilnya yang tidak dapat dinukilkan dengan kata-kata.
Ayah paling mampu soal itu.
Namun
siapakah yang paling membahagiakan kala itu? Andai saja tulisan ini dapat
kutunjukkan kembali kepadanya yang baru saja genap berumur 32 tahun, sehari setelah
saya menuliskan kisah ini. Kakak, ia
kini sudah memiliki anak yang sangat lucu-lucu. Tidak terasa ia sudah menikah
dan kini menjaga tiga orang anak sekaligus. Hampir saja tidak bisa membayangkan
kelahiran anaknya yang sangat dekat-dekat sekali jaraknya. Bahkan ia kualahan
tanpa suaminya. Tetapi sayangnya pada anaknya tidak terlukiskan.
Kembali
pada kisah. Jika saja sehari yang lalu sang kakak berumur 32 tahun dan tahun
ini aku akan memasuki 19. Berapakah
jarak antaraku dengannya? Ya, tepat sekali 13 tahun. Namun, sebelum itu aku
masih mempunyai seorang abang tertua sebelum kakakku yakni kini berumur 34
tahun dan aku 19 tahun. Berapakah jarakku dengannya? Tepat sekali (jika anda
menghitung), 15 tahun jaraknya. Baik setelah kakak aku mempunyai dua orang
abang lagi yang sangat-sangat memperhatikanku dalam sikap diamnya. Abang yang
satu ini sangat ku rindui kehadirannya, ia kini berumur 30 tahun. Pelipur hati
saat dekat dengannya yang penuh keteduhan, taat, dan setiap saat menemukan
dirinya berjamaah di masjid apapun itu situasinya. Kini merindukannya ibarat
kehilangan penasehat terbaik setelah ia menikah dan meninggalkan rumah.
Saudaraku yang terakhir ini makhluk paling gaul sedunia, namun tetap kini kuat
sekali membekas bagaimana nasehat pengajian malam kepadanya, dan mei ini ia
memasuki 25 tahun. Sekarang bisa mengestimasi kembali jarak antara aku dengan
saudara-saudara kesayanganku tersebut.
Waktu
itu sang kakak adalah gadis remaja yang baru saja tumbuh, katanya dahulu ia
lebih sering dianggap paling sentimental dan mudah tersentuh. Ia saat itu masih
menemani ibu, kehadiran wanita nomor dua dirumah. Dengan satu orang lelaki yang
lebih tua dan dan dua lelaki yang lebih muda darinya.
“Ma.. mau dekat pergi haji ya sama ayah?”. Ibu hanya terdiam. Mungkin dalam hatinya mengangguk,
ibu sepertinya menyimpan doa yang telah lama ingin dihaturkan dalam kepergian
hajinya.
Ibuku
sudah cukup tua. Saat itu memang Ayah dan Ibu akan segera berangkat menuju
rumah Allah dan akan diundang segera. Tidak heran jika banyak orang yang
memohon doa untuk disampaikan. Mereka pergi tahun itu, 1993. Untuk pertama
kalinya menjemput janji keislaman setelah syahadat, shalat sehari semalam,
puasa Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Rukun islam ke
lima. Mereka akan memenuhi panggilan terakhir tersebut. Semua anaknya mendukung
dan siap untuk ditinggal. Setelah acara penyambutan jama’ah haji, ayah dan ibu
berangkat.
Adapun
lamanya haji saat itu satu bulan, tidak kurang. Masih sama hingga sekarang
hanya saja rute sekarang yang pergi haji lebih membludak dan mengantri
jauh-jauh tahun. Tentunya kepergian orang tua telah membuat satu isi rumah
menjadi sepi tanpa ayah dan ibu dan ditemani sanak saudara terdekat.
Usai
bulan hajipun tiba. Ayah dan ibu pulang. Tidak semua orang tahu apa yang
terjadi setelah kegiatan haji tersebut. Hanya saja saudara kandung ibu
bercerita kepada sang kakak bahwa ibu sedang hamil besar. Tepatnya Setahun
kemudian dengan barokah ALLAH, saya lahir ke muka bumi 1994, dengan jenis
kelamin perempuan. Kini ibu dan kakak punya teman perempuan juga, padahal usia
ibu sudah sangat tua. Pada hari itu tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya
kejadian ini sangat special untuk sang Ibu dan kakak. Sayapun diberi nama oleh
sang ayah yakni Nuurul Husna, yang artinya cahaya kebaikan. Benar-benar
nostalgia dari kepulangan haji, ayah ingin menyerapkan huruf arab pula dengan
mad asli yang dipanjangkan. Sehingga teman-teman jangan sama kan Nuurul dengan
Nurul yang huruf vocal ‘u’ nya. Inilah letak spesialnya pemberian nama.
Sang
kakakpun menggendong adik perempuannya. Setelah lama menanti diusia ibu yang
sudah lanjut. Selain ibu, kakak juga ikut senang karena mempunyai saudara
perempuan. Ayah dan ibu mungkin yakin ini anak yang terakhir yang ia miliki.
Kakakpun tidak mengecewakan kesempatan kelahiran itu. Wah... bahagianya lagi,
ternyata aku termasuk bayi terberat kiloannya saat ditimbang dibandingkan
saudara-saudaraku yang lahir waktu mereka bayi. Berat tubuhku yang ditimbang
itu hampir memasuki 5 kilogram. Barakah benar ya. Bayi yang sehat pada ibu usia
lanjut.
Mulai
saat itu, sang kakak cekatan mengurus adik perempuan semata wayangnya.
Menggendongnya, mungkin saja saya tidak
sadar ia juga menyuap makanan untuk saya sejak kecil. Karena saat aku masih
berada di taman kanak-kanak pun aku rutin masih disuap olehnya, apalagi saat
aku masuk sekolah dasar, kakakku tahu bahwa aku masih suka disuap ikan minyak
yang dibulat-bulatkan bentuknya dengan nasi langsung dengan tangannya bukan
dengan sendok. Waktu itu aku masih punya kakak waktu sekolah dasar yang hampir
setiap saat dapat bantuan mengerjakan PR matematika. Kami lebih sering
menghabiskan malam bersama dan ia senang menciumi dahiku saat tidur walaupun
aku tidak suka dicium, bahkan saking tidak sukanya dengan kekuatan power
rangers “berubahhhhhh, iyakkk!!”, pernah aku tonjok, walah...kasihan.
Trimakasih
Allah. Ternyata barakah anak terakhir ini sampai, ibu kini punya anak perempuan yang menemaninya di rumah di usia senjanya.
i give this story up till all my fingers dance also.. Nice plot inspires me.
BalasHapus