Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Petuah #PenaKamiTidakPuasa

Syukur pada penciptaanNya, atas darah yang paling pekat, yakni hati. Memang menemukan sesuatu yang lebih besar dari biasanya dan lama sudah menanti kabarnya. Sejak kecil aku hanya mendengar cibiran orang-orang, namun kali ini aku benar-benar menginginkannya. Inilah sebab mengapa saudari lelaki tertua di rumah kami telah disekolahkan terlalu jauh, tetapi aku tidak mengerti mengapa aku tidak mendapatkan seindah pemikiran sang orang tua kepadanya, terlepas aku adalah seorang perempuan. Memang dahulunya aku tidak turut mengerti lantunan semua jenis irama yang di putarkan dalam radio terbesar milik ayahku. Aku pula tidak mengerti mengapa buku-buku lama bertuliskan Arab tersimpan dalam lemari lama yang cukup memanjang ke atas dan terselipkan satu buah boneka kecilku berwarna kuning.

            Guruku berpesan, "Seharusnya kamu lebih dulu mengutamakan hal selangka ini, beruntunglah hatimu terbesit hal yang sedemikian rupa indahnya dan Allah telah meletakkan kesempatan indah itu kepadamu. Maka dengarlah, yang lain dapat disusul setelah perjuangan hebat ini, tahanlah hawa nafsu, semoga engkau mendapatkannya." Hatiku juga ikut mengangguk.

            Sejenak dalam ruang waktu yang sangat begitu sempit, kami disempatkan untuk bertemu dalam pandangan air yang mengalir, taman sekeliling masjid Ibnu Sina. Tempat dimana masjid ini menjadi Tuan kakiku berpijak pertama kali saat aku bertemu dengannya. Landskap yang dicaripun begitu berlimpah ruang kemenangan, taman air mengalir dimana seorang atau banyak tubuh yang menyaksikan akan menangkap memori-memori yang sedang direncanakan untuk melekat. Aku baru tahu beberapa waktu lalu bahwa Ibnu Sina adalah seorang dokter, secara fenomenal ku tahu bukunya marak disebut The Qanon tak lepas pula dari ingatan bahwa ia juga Penghafal penceriteraan kitab islam. Di tempat masjid Ibnu Sina itu pula aku jatuh hati pada guruku.

            Bagaimanapun rencanaku akan sangat berat dan mengamukkan pikiran. Sesungguhnya ini benar-benar tidak semudah yang aku bayangkan sebelumnya. Mungkin dalam benakku awalnya Aku hanya akan mampu seperempatnya seumur hidup. Namun, guruku membawaku kedunia yang semestinya aku pikirkan. Mungkin ini soal niatnya atau ini soal kekuatan semangat itu sendiri yang harus ditata ulang.
“Dahulu saya mencoba membela diri siang malam memperjuangkannya. Tidak punya alasan untuk terdiam sedari malam. Hingga desir, ringkik kuda, dan pak kusir. Bahkan pembunuhan turut terjadi malam itu. Anak mudi yang kuliah dan dimutilasi seluruh tubuhnya, pelakunya jelas bukan orang waras, paling-paling orang gila yang lepas dari terali.” Aku terdiam dan mendengarkan

            Guruku kemudian menatap mataku lama. Ada yang ingin ia yakini, tetapi terdiamnya membuatku juga merasa ingin melihatnya lebih dalam. Aku tatap matanya yang bulat. Duhai ada apa guru, apa yang terjadi. Aku lepas dari matanya seketika melihat tempat lain sambil tetap terdiam.
“Bayangkan saja, nyai bahkan pernah menyuruh saya untuk diantarkan oleh seorang lelaki kepercayaannya untuk mengantar jemput sejak peristiwa bengis itu. Takut Saya celaka, namun saya tetap menolaknya. Saya ditemani kusir lepas pukul Sembilan malam.” Aku bukan tidak percaya guru, aku hanya ingin terus menyimakmu, dan aku tentu bukan dirimu. Aku meyakini diriku.
“Di tempat itu pula setiap saatnya saya harus berjalan sambil jongkok sebagai adat penghormatan, begitulah ketika saya bertemu para nyai saat ingin menyaalurkan hafalan, sulit ketika jarak jongkok sambil berjalan harus dilakoni setiap kali akan menyimak bacaan olehnya, tentu bukan saya saja, jadi memang harus menerimanya.”

            Beberapa hari selanjutnya kami kembali bertemu muka, tepat pelantaran taman dan kantin rumah sakit. Sesungguhnya disaat itu pula muncul cerita yang amat sangat sederhana. Aku mungkin tidak begitu jemu memikirkan saat sang guru tidak makan saat itu, tetapi aku menjadi lapar disaat orang lain tidak memikirkan makan, aneh bukan tidak, tetapi hanya sedikit menuai malu. Ia menghabiskan dalam satu saat menuju perjalanan sebagai pembedah tanpa tidak ingat bahwa ia juga harus mengisi perutnya. Bukankah ia pula seorang pemikir? Seorang pembedah? Seorang yang memikirkan bagaimana juga turut belajar? Menjadi guru terbesar bagiku, bukan pula harus aku lebih-lebihkan, sesempurnanya.

“Guru bebas, mau makan apa saja! silahkan! Saya senang jika hari ini guru makan bersama saya.” sang guru tersenyum dan memilih posisi duduk. Ia memilih duduk bersama pula seorang dokter yang telah menamatkan studinya ke Jepang. Mereka sangat akrab, seakan sebaya bahkan berbicara dalam bahasa Jepang. Ah, naïf sekali. Aku hanya terkesima, tidak berani menyimpulkan apapun, karena aku tidak mampu berbhasa Jepang. Sungguh sempitnya ilmuku.

“Beliau ingin memanggil saya dengan sebutan kakak, lantas saya tidak mengizinkannya kecuali ia ingin bercakap Jepang dengan saya.” ucap guru. Aku takjub. Terakhir aku mengetahui guruku menguasai bahasa dunia lainnya, German, Perancis, Inggris, dan Arab. Oh Tuhan. Aku semakin tersipu. Aku merasa duduk dalam kolong jembatan, melihat air mengalir.

            Aku mulai kembali mencerna kalimat-klimat perjumpaan singkat dengannya saat bertemu, sambil mengangkat makanan dengan tangan, melahap kuah kari dengan sepiring nasi. Ah, ini lagi-lagi soal niat. Lagi-lagi niatnya dan semangat yang harus dibangun. Banyak perempuan jawa yang meniatkan hafalannya hanya gara-gara ingin mendapat suami penghafal dan nyatanya hanya menghafal 2-3 juz. Lagi-lagi, kalau ingin mengingat ayat-ayat hanya untuk sekadar mengajari anak kandung mengaji, juz ‘amma sudah cukup. Mungkin yang meniatkan untuk hanya menjadikannya politik beasiswa keluar, saat itu pula terpikir untuk menghafal kitab suci mereka, sebelumnya? Bahwa lain halnya ketika sebuah mahkota dan pakaian surga ingin ditancapkan kepada ibu dan bapaknya. Niat mungkin dapat diperbaiki nantinya.

            Guru kini didatangi dokter muda saat kami makan dan berbicara soal resep yang harus segera dikonsumsi pasien dan mencatatnya.
“bla.. bla.. bla... segera! Check, tolong katakan kepada lainnya.. bla..bla..” aku terkesima sambil menghayati kembali sesuatu. Ini soal mengenang sang guru.

            Bayangkan saja, aku hanya tersadar ketika aku berjumpa dengan sosoknya. Suatu memori yang telah tercuri lama tidak dikenalkan dan kembali terkenang serta mencari daya ingatan. Achmad di Pante, Kakekku. Wajahnya saja tidak pernahku lihat. Aku ingin ia megitari sepeda dan aku duduk dibelakangnya. Membawa aku berkeliling dan meniti tangga masjid yang pernah dihancurkan berkeping-keping oleh Belanda dan kini berada dipusat kota. Kembali ke sana melihatnya menjadi imam dan shalat dibelakangnya. Sungguh andai-andai yang sudah tidak dapat dibiaskan pelupuk mata. Perjumpaan hanya sekadar berita. Bukunya telah menjadi kenangan dalam lemari yang sungguh sangat panjang itu.

            Seorang putera Aceh yang sempat mengayunkan negeri jawa ke puncak tenarnya, mengemat pendidikan pesantren, seorang penghafal dan qori Aceh yang membawa nama jawa terdepankan sebagai musabaqah nasional, ya bukan bahkan membela Aceh saat itu, ia saudara lelakiku. Mungkin cukup melukiskan, mengapa seharusnya aku pula mampu. Ah, kenapa sekarang baru saja aku seperti akan diingatkan kembali kejayaan pada suatu masa.

            “Begitulah seharusnya, pesan awalnya. Jagalah hati. Sejak awal telah menjadi saksi, sudah tertuliskan bahwa kita akan ditemukan sejak lama.” Guru tersenyum ketika hayatanku menghadap seorang lelaki, dokter muda yang berbicara kepadanya, “tidak banyak pemuda yang dahsyat didunia, semua ketaatan banyak diambil oleh para tetua di masjid. Apakah dokter muda tadi cukup membuatmu antusias?” aku terkejut dan beristigfar.

“Guru, sungguh perkataan guru lebih benar atas apa yang saya lihat!” aku mengakhirinya sembari mengajak guru kembali untuk menyimak ditaman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar