Syukur
pada penciptaanNya, atas darah yang paling pekat, yakni hati. Memang menemukan
sesuatu yang lebih besar dari biasanya dan lama sudah menanti kabarnya. Sejak
kecil aku hanya mendengar cibiran orang-orang, namun kali ini aku benar-benar menginginkannya.
Inilah sebab mengapa saudari lelaki tertua di rumah kami telah disekolahkan
terlalu jauh, tetapi aku tidak mengerti mengapa aku tidak mendapatkan seindah
pemikiran sang orang tua kepadanya, terlepas aku adalah seorang perempuan.
Memang dahulunya aku tidak turut mengerti lantunan semua jenis irama yang di
putarkan dalam radio terbesar milik ayahku. Aku pula tidak mengerti mengapa
buku-buku lama bertuliskan Arab tersimpan dalam lemari lama yang cukup
memanjang ke atas dan terselipkan satu buah boneka kecilku berwarna kuning.
Guruku
berpesan, "Seharusnya kamu lebih dulu mengutamakan hal selangka ini,
beruntunglah hatimu terbesit hal yang sedemikian rupa indahnya dan Allah telah
meletakkan kesempatan indah itu kepadamu. Maka dengarlah, yang lain dapat
disusul setelah perjuangan hebat ini, tahanlah hawa nafsu, semoga engkau
mendapatkannya." Hatiku juga ikut mengangguk.
Sejenak
dalam ruang waktu yang sangat begitu sempit, kami disempatkan untuk bertemu
dalam pandangan air yang mengalir, taman sekeliling masjid Ibnu Sina. Tempat
dimana masjid ini menjadi Tuan kakiku berpijak pertama kali saat aku bertemu
dengannya. Landskap yang dicaripun begitu berlimpah ruang kemenangan, taman air
mengalir dimana seorang atau banyak tubuh yang menyaksikan akan menangkap
memori-memori yang sedang direncanakan untuk melekat. Aku baru tahu beberapa
waktu lalu bahwa Ibnu Sina adalah seorang dokter, secara fenomenal ku tahu bukunya
marak disebut The Qanon tak lepas pula dari ingatan bahwa ia
juga Penghafal penceriteraan kitab islam. Di tempat masjid Ibnu Sina itu pula
aku jatuh hati pada guruku.
Bagaimanapun
rencanaku akan sangat berat dan mengamukkan pikiran. Sesungguhnya ini
benar-benar tidak semudah yang aku bayangkan sebelumnya. Mungkin dalam benakku
awalnya Aku hanya akan mampu seperempatnya seumur hidup. Namun, guruku
membawaku kedunia yang semestinya aku pikirkan. Mungkin ini soal niatnya atau
ini soal kekuatan semangat itu sendiri yang harus ditata ulang.
“Dahulu saya mencoba membela diri siang malam
memperjuangkannya. Tidak punya alasan untuk terdiam sedari malam. Hingga desir,
ringkik kuda, dan pak kusir. Bahkan pembunuhan turut terjadi malam itu. Anak
mudi yang kuliah dan dimutilasi seluruh tubuhnya, pelakunya jelas bukan orang
waras, paling-paling orang gila yang lepas dari terali.” Aku terdiam dan
mendengarkan
Guruku
kemudian menatap mataku lama. Ada yang ingin ia yakini, tetapi terdiamnya
membuatku juga merasa ingin melihatnya lebih dalam. Aku tatap matanya yang
bulat. Duhai ada apa guru, apa yang terjadi. Aku lepas dari matanya seketika
melihat tempat lain sambil tetap terdiam.
“Bayangkan saja, nyai bahkan pernah menyuruh saya untuk diantarkan oleh seorang
lelaki kepercayaannya untuk mengantar jemput sejak peristiwa bengis itu. Takut
Saya celaka, namun saya tetap menolaknya. Saya ditemani kusir lepas pukul
Sembilan malam.” Aku bukan tidak percaya guru, aku hanya ingin terus
menyimakmu, dan aku tentu bukan dirimu. Aku meyakini diriku.
“Di tempat itu pula setiap saatnya saya harus
berjalan sambil jongkok sebagai adat penghormatan, begitulah ketika saya
bertemu para nyai saat ingin menyaalurkan
hafalan, sulit ketika jarak jongkok sambil berjalan harus dilakoni setiap kali
akan menyimak bacaan olehnya, tentu bukan saya saja, jadi memang harus
menerimanya.”
Beberapa
hari selanjutnya kami kembali bertemu muka, tepat pelantaran taman dan kantin
rumah sakit. Sesungguhnya disaat itu pula muncul cerita yang amat sangat
sederhana. Aku mungkin tidak begitu jemu memikirkan saat sang guru tidak makan
saat itu, tetapi aku menjadi lapar disaat orang lain tidak memikirkan makan,
aneh bukan tidak, tetapi hanya sedikit menuai malu. Ia menghabiskan dalam satu
saat menuju perjalanan sebagai pembedah tanpa tidak ingat bahwa ia juga harus
mengisi perutnya. Bukankah ia pula seorang pemikir? Seorang pembedah? Seorang
yang memikirkan bagaimana juga turut belajar? Menjadi guru terbesar bagiku,
bukan pula harus aku lebih-lebihkan, sesempurnanya.
“Guru bebas, mau makan apa saja! silahkan! Saya
senang jika hari ini guru makan bersama saya.” sang guru tersenyum dan memilih
posisi duduk. Ia memilih duduk bersama pula seorang dokter yang telah
menamatkan studinya ke Jepang. Mereka sangat akrab, seakan sebaya bahkan
berbicara dalam bahasa Jepang. Ah, naïf sekali. Aku hanya terkesima, tidak
berani menyimpulkan apapun, karena aku tidak mampu berbhasa Jepang. Sungguh
sempitnya ilmuku.
“Beliau ingin memanggil saya dengan sebutan
kakak, lantas saya tidak mengizinkannya kecuali ia ingin bercakap Jepang dengan
saya.” ucap guru. Aku takjub. Terakhir aku mengetahui guruku menguasai bahasa
dunia lainnya, German, Perancis, Inggris, dan Arab. Oh Tuhan. Aku semakin
tersipu. Aku merasa duduk dalam kolong jembatan, melihat air mengalir.
Aku
mulai kembali mencerna kalimat-klimat perjumpaan singkat dengannya saat bertemu,
sambil mengangkat makanan dengan tangan, melahap kuah kari dengan sepiring
nasi. Ah, ini lagi-lagi soal niat. Lagi-lagi niatnya dan semangat yang harus
dibangun. Banyak perempuan jawa yang meniatkan hafalannya hanya gara-gara ingin
mendapat suami penghafal dan nyatanya hanya menghafal 2-3 juz. Lagi-lagi, kalau
ingin mengingat ayat-ayat hanya untuk sekadar mengajari anak kandung mengaji,
juz ‘amma sudah cukup. Mungkin yang meniatkan untuk hanya menjadikannya politik
beasiswa keluar, saat itu pula terpikir untuk menghafal kitab suci mereka,
sebelumnya? Bahwa lain halnya ketika sebuah mahkota dan pakaian surga ingin
ditancapkan kepada ibu dan bapaknya. Niat mungkin dapat diperbaiki nantinya.
Guru
kini didatangi dokter muda saat kami makan dan berbicara soal resep yang harus
segera dikonsumsi pasien dan mencatatnya.
“bla.. bla.. bla... segera! Check, tolong
katakan kepada lainnya.. bla..bla..” aku terkesima sambil menghayati kembali
sesuatu. Ini soal mengenang sang guru.
Bayangkan
saja, aku hanya tersadar ketika aku berjumpa dengan sosoknya. Suatu memori yang
telah tercuri lama tidak dikenalkan dan kembali terkenang serta mencari daya
ingatan. Achmad di Pante, Kakekku. Wajahnya saja tidak pernahku lihat. Aku
ingin ia megitari sepeda dan aku duduk dibelakangnya. Membawa aku berkeliling
dan meniti tangga masjid yang pernah dihancurkan berkeping-keping oleh Belanda
dan kini berada dipusat kota. Kembali ke sana melihatnya menjadi imam dan
shalat dibelakangnya. Sungguh andai-andai yang sudah tidak dapat dibiaskan
pelupuk mata. Perjumpaan hanya sekadar berita. Bukunya telah menjadi kenangan
dalam lemari yang sungguh sangat panjang itu.
Seorang
putera Aceh yang sempat mengayunkan negeri jawa ke puncak tenarnya, mengemat
pendidikan pesantren, seorang penghafal dan qori Aceh yang membawa nama jawa
terdepankan sebagai musabaqah nasional, ya bukan bahkan membela Aceh saat itu,
ia saudara lelakiku. Mungkin cukup melukiskan, mengapa seharusnya aku pula
mampu. Ah, kenapa sekarang baru saja aku seperti akan diingatkan kembali
kejayaan pada suatu masa.
“Begitulah
seharusnya, pesan awalnya. Jagalah hati. Sejak awal telah menjadi saksi, sudah tertuliskan
bahwa kita akan ditemukan sejak lama.” Guru tersenyum ketika hayatanku
menghadap seorang lelaki, dokter muda yang berbicara kepadanya, “tidak banyak
pemuda yang dahsyat didunia, semua ketaatan banyak diambil oleh para tetua di
masjid. Apakah dokter muda tadi cukup membuatmu antusias?” aku terkejut dan
beristigfar.
“Guru, sungguh perkataan guru lebih benar atas
apa yang saya lihat!” aku mengakhirinya sembari mengajak guru kembali untuk menyimak
ditaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar