Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Menjemput Teman Sepermainan #PenaKamiTidakPuasa

            Sejak dahulu aku memiliki beberapa teman, Banyak sekali. Tetapi, teman ini yang memang belum aku kenal. Ia datang cukup jauh, kecepatan geraknya ibarat kecepatan cahaya pada supernova digelapnya andromeda. Bahkan mungkin lebih cepat dari cahaya itu sendiri. Ia datang dan menemani hari-hariku. Padahal aku tidak cukup mengenalnya. Ya, benar ia temanku, kata ayah dan ibu. Tapi, belum apapun ia sudah menceramahiku, ah apa pula dia. Ini tentu tak bisa dibiarkan. Aku mulai membencinya saat itu juga, entahlah aku tidak mengerti siapa dia. Teman macam apa dia? Tapi melihat aku membiarkannya, ia semakin sendu  dan pilu. Ia kemudian menangis bahkan tangisnya tidak punya nada sedikitpun. Tidak seperti manusia normal lainnya, hanya saja ketika itu aku melihatnya menangis hanya untuk melihat air bening yang setetes demi tetes jatuh. Sama sekali bukan suara.

            Kemudian aku kembali mendekatinya lagi. Karena tidak mungkin aku melihatnya menangis hanya untukku, bahkan lebih dari yang seharusnya. Benar, ia tidak berhak menangis untukku. Aku mencoba mendekatinya lagi, ya aku berdamai. Aku ingin menjadi temannya. Kemudian aku dengannya terbentuk tali kasih yang erat, ia memberi sesuatu pertanda untukku dengan sangat hati-hati. Ia memang membuatku pantas menjadi temannya, karena ia lembut, suci, ia ingin menyertaiku selalu. Saat itu pula aku menyadari ia memang dititipkan untukku. Aku tidak pernah mendustai itu, bagaimanapun semua jalan ia arungi untukku. Ia memang cantik luar biasa. Ketika Aku mencoba menjelekkan teman yang lainnya, ia datang untuk memberi sesuatu yang selalu  berbeda. Namun, aku jarang sekali mengerti. Meskipun aku kini sadar ia temanku.

            Ia memang teman yang setia. Ia memberi sebuah ingatan menempuh doa-doa saat saraf menjadi ngilu di atas kaki, batang tubuhku, dan saat batang leher mulai kaku. Maka tiap aku akan makan, aku dianjurkan jangan lupa menghindar siksa ‘an-naar’ dan kemudian meminum dua teguk dengan hikmat. Ketika aku menuju rumahnya para tanduk yang membenci manusia, ia juga mengingatkanku kembali bahwa di dalamnya terlalu busuk tanpa memanjatkan sesuatu. Mengingatkan kembali bahwa penuh manusia memenuhi rumah pencipta tanpa mengharap ridha di awal pintu perjumpaan. Menuntun mata untuk melihat pemiliknya saja. Ia kemudian hanya ingin aku mendengarnya lebih dalam dan iapun menjadi pendengar yang baik saat aku merasa sempit, menggait kaki berjalan hingga menuju arahnya,  hingga pada perjalananku itu aku telah dibuat olehnya untuk tidak terlepas dari genggamannya sedikitpun.

           
            Aku ingin sekali menamparnya, apakah ia cukup hidup atau ia hanya teman yang mampir singgah. Ya, Aku menamparnya. Kemudian ia menamparku kembali lebih sakit, ah. Ia murung saat itu, Aku memangis. Tamparan kami sama-sama menuai perih. Kemudian aku kembali memeluknya, meredakan sakit kami. Duhai teman, aku ingin menjemputmu setiap saat hingga dirasa tempatku cukup menjadi tempat bermainmu. Hingga sampai Tuhan bertanya, siapa temanmu nanti saat ruang semakin gelap? Ia duhai Tuhan,(aku menunjukmu), Hatiku. Ia petunjuk Amalku selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar