Sejak dahulu aku memiliki beberapa
teman, Banyak sekali. Tetapi, teman ini yang memang belum aku kenal. Ia datang cukup
jauh, kecepatan geraknya ibarat kecepatan cahaya pada supernova digelapnya
andromeda. Bahkan mungkin lebih cepat dari cahaya itu sendiri. Ia datang dan
menemani hari-hariku. Padahal aku tidak cukup mengenalnya. Ya, benar ia
temanku, kata ayah dan ibu. Tapi, belum apapun ia sudah menceramahiku, ah apa
pula dia. Ini tentu tak bisa dibiarkan. Aku mulai membencinya saat itu juga,
entahlah aku tidak mengerti siapa dia. Teman macam apa dia? Tapi melihat aku
membiarkannya, ia semakin sendu dan
pilu. Ia kemudian menangis bahkan tangisnya tidak punya nada sedikitpun. Tidak seperti
manusia normal lainnya, hanya saja ketika itu aku melihatnya menangis hanya
untuk melihat air bening yang setetes demi tetes jatuh. Sama sekali bukan
suara.
Kemudian aku kembali mendekatinya
lagi. Karena tidak mungkin aku melihatnya menangis hanya untukku, bahkan lebih
dari yang seharusnya. Benar, ia tidak berhak menangis untukku. Aku mencoba
mendekatinya lagi, ya aku berdamai. Aku ingin menjadi temannya. Kemudian aku
dengannya terbentuk tali kasih yang erat, ia memberi sesuatu pertanda untukku
dengan sangat hati-hati. Ia memang membuatku pantas menjadi temannya, karena ia
lembut, suci, ia ingin menyertaiku selalu. Saat itu pula aku menyadari ia
memang dititipkan untukku. Aku tidak pernah mendustai itu, bagaimanapun semua
jalan ia arungi untukku. Ia memang cantik luar biasa. Ketika Aku mencoba
menjelekkan teman yang lainnya, ia datang untuk memberi sesuatu yang
selalu berbeda. Namun, aku jarang sekali
mengerti. Meskipun aku kini sadar ia temanku.
Ia memang teman yang setia. Ia
memberi sebuah ingatan menempuh doa-doa saat saraf menjadi ngilu di atas kaki,
batang tubuhku, dan saat batang leher mulai kaku. Maka tiap aku akan makan, aku
dianjurkan jangan lupa menghindar siksa ‘an-naar’ dan kemudian meminum dua
teguk dengan hikmat. Ketika aku menuju rumahnya para tanduk yang membenci
manusia, ia juga mengingatkanku kembali bahwa di dalamnya terlalu busuk tanpa
memanjatkan sesuatu. Mengingatkan kembali bahwa penuh manusia memenuhi rumah
pencipta tanpa mengharap ridha di awal pintu perjumpaan. Menuntun mata untuk melihat
pemiliknya saja. Ia kemudian hanya ingin aku mendengarnya lebih dalam dan iapun
menjadi pendengar yang baik saat aku merasa sempit, menggait kaki berjalan
hingga menuju arahnya, hingga pada
perjalananku itu aku telah dibuat olehnya untuk tidak terlepas dari
genggamannya sedikitpun.
Aku ingin sekali menamparnya, apakah ia cukup hidup atau ia hanya teman yang mampir singgah. Ya, Aku menamparnya. Kemudian ia menamparku kembali lebih sakit, ah. Ia murung saat itu, Aku memangis. Tamparan kami sama-sama menuai perih. Kemudian aku kembali memeluknya, meredakan sakit kami. Duhai teman, aku ingin menjemputmu setiap saat hingga dirasa tempatku cukup menjadi tempat bermainmu. Hingga sampai Tuhan bertanya, siapa temanmu nanti saat ruang semakin gelap? Ia duhai Tuhan,(aku menunjukmu), Hatiku. Ia petunjuk Amalku selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar