Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Meluaskan Cita-cita Sang Anak #PenaKamiTidakPuasa

Ketika pagi terus menyambut, akan ada setiap cerita yang akan dimulai kembali. Seperti halnya setiap manusia yang bekerja mulai me-starter kembali motornya atau mobilnya untuk dapat melaju ke tempat tujuan kerja. Belum lagi ketika mencoba melanjutkan perjalanan, sarapan akan tetap menjadi teman di pagi hari. Kemudian ketika seorang ayah dari anak-anak harus bekerja, di saat itu pula anak-anak akan berangkat ke sekolah untuk belajar bersama teman-temannya.

Ketika seorang yakin hari-harinya sangat berkualitas, ia pasti merasakan hasil memuaskan dari hasil kerjanya. Namun berbeda halnya jika nilai kualitasnya hanya terorganisir sumber income yang masuk melaju setiap saatnya, tentu akan ada yang patut ditanya mengapa harus pendapatan itu sendiri? Sehingga semuanya tidak ikut campur banyak dan hanya menurut.

Contohnya adalah anak-anak yang suka meminta ayah dan ibunya berjalan-jalan, kini hanya cerita 
"Ayah mencari uang nak," atau
"Adik, bunda harus kerja, adik tidak boleh ikut, nanti adik ribut." Jikalau bukan karena itu, apalagi yang mebuat sang anak turut menangis?


Ketika dahulu ibuku bekerja, ibu turut sesekali membawaku untuk bermain. Selain profesinya sebagai guru, ia tahu bahwa membuat anak sering terpaku diam hanya membuat anak membatu, mengeras. Ibu tetap mengizinkan aku bermain disekitaran tempat kerja, di antaranya makan di kantin dan berbicara dengan warga kantin lebih lama walau ketika itu aku sendiri saja. Ketika aku bosan, saat itu juga aku kembali melihat ruang kerja ibuku, melihat ia mengajar, kemudian menuju perpustakaan untuk melanjutkan hobi lompat -melompat diantara satu meja buku dengan meja yang lain disaat para pembaca tidak menaunginya, tidak lupa menuju taman sekolah sembari memandang banyak orang yang belajar, dan pasti melihat berbagai macam orang-orang disiplin kantor yang sedang mengetik. Tanya ini dan tanya itu.

Begitupula dengan ayah, aku diberi kesempatan ikut sepulang sekolah untuk melihat-lihat kantor ayah. Ah, yang penting aku tetap dibawa, walaupun nantinya aku harus menunggu di kendaraannya, melihatnya bekerja, memperhatikan pula ruang kerjanya, bermain air tempat orang-orang yang sedang berwudhu, dan tidak lupa melihat lapangan tennis tempat pekerja-pekerja melwati waktunya.

Mungkin ada kata yang ia semat selalu dalam pemahaman pengajaran mereka, bahwa

"Semakin banyak mata memandang maka akan semakin luaslah cita-citanya." Sajak lama

Jika sang anak dibatasi akan kesibukan orang tuanya, bagaimanakah lagi yang seharusnya dikatakan kualitas? Mungkinkah benteng ter-emisinya income menjadi patukan atau kestabilan disaat kesibukan? Jika sejak kecil anak hanya dibiarkan melihat dengan cara pandang lama yakni berdiam di rumah dan menunggu ayah-ibu pulang, apakah kalimat yang baik kita katakan pada diri kita sendiri? Bahwa terlalu banyak yang berasumsi, membawa anak kemana-mana adalah segampang kalimat 'anak itu repot'. Padahal ia diciptakan untuk hadir ke dunia dengan segenap keinginan yang sama, ingin melihat, merasa, dan menjadi pendengar yang baik. Itulah sebab ia punya cita-cita menuju ridha Tuhannya (Allah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar