Saat
lebaran tiba, ada hal menarik yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang
dirumah kami. Karena setiap lebaran mucul saya kerap menemukan sanak tetangga
seberang kampung yang asing ikut bersilaturahmi ke rumah kami. Setelah bertanya-tanya,
ternyata mereka memang sanak famili jauh dari ayahanda. Saya saat itu sedang
menonton televisi di ruang depan dan ketika menuju ke belakang,
“Wahh.. Lontong yang disediakan tadi pagi kok cepat sekali habisnya?” tanyaku pada
Ibu yang sedang mempersiapkan lagi lontong yang tersedia di dapur.
“Ya.. diserbu dong sama tamu seberang Meunasah Pante!”
Dibalik tidak kenalnya saya kepada mereka, saya
turut bangga. Mungkin saya sedang tidak puas-puasnya berpikir, bagaimana mereka
tahu kalau di rumah kami menyediakan lontong tiap tahunnya? Sebenarnya memang
tidak jadi masalah karena biasanya kami memasak lontong dalam jumlah yang
banyak. Tentu ini sudah menjadi tradisi, tiap tahun ibu mengukusnya dengan
berbambu-bambu nasi dan memasaknya dengan
alumunium berukuran sebesar ember cat.
Tentunya
saya turut andil dalam pembuatan acara tahunan ini dan menjadi koki pemantau
api tiap tahunnya. Andai ada banyak saudara kandung saya yang tidak sibuk
diluar rumah, ia akan turut membantu, ah sayangnya kegiatan ini seolah-olah semua
tangan tertuju padaku.
Kalau
ayahanda tidak terlalu sibuk, biasanya ia akan membantu mencari pelepah pisang
dari kebun yang daunnya besar-besar. Daun ini biasanya akan menjadi bahan dasar
pembungkus kukusan lontong. Berpuluh bungkus kukusan beras dikaitkan dengan
lidi atas dan bawah daun. Setelah selesai, Ibulah yang akan menjadi bagian
pengatur dan penyusunan letak di dalam panci besar alumunium itu.
Terlepas
dari itu semua, saya turut menjadi anak bawang untuk mengangkatnya menuju
belakang rumah kami, dimana ada banyak kayu kebun yang ditebang, kayu bekas
pembangunan dan tidak lupa batok kelapa kering. Tiga bahan tersebutlah yang
akan menjadi pemicu pembakaran lontong di atas tungku. Loh kok batok kelapa bisa? My dear, batok kelapa ini lah yang pada
dasarnya yang menyembabkan semburat api menjuntai ketika api beranjak mati.
Tidak mengerti pula bagaimana detilnya, tetapi yang jelas batok mengandung
minyak.
Begitulah
tugas saya sepanjang hari, memantau api di belakang rumah dalam kegiatan annual sepanjang kebahagiaan Lebaran.
Memasaknya tentu menguras tenaga, selain harus selalu memasukkan batok kelapa
ataupun kayu dalam tungku berulang-ulang, saya juga harus melihat ketersedian air
yang digunakan untuk merebus kukusan. Jika tidak? makanan tidak akan masak dong! Tentu air perebusannya harus
diberi berulang-ulang pula ketika ketersediaannya habis.
Selain
itu, memasaknya membutuhkan 9 sampai 10 jam. Jika memasaknya jam 10 pagi, aku
harus memantau masakan ini hingga larut malam. Acapkali mukaku menjadi memerah
kegelapan, seharian bermain dengan api dan asapnya. Jika bukan memasak dengan
waktu yang sepadan, lontongnya tentu akan amburadul. Hal ini pernah terjadi
pada beberapa tahun silam, lontong menjadi terlalu lembek karena tidak bagus penjagaannya
atau terlalu keras karena melewati batas ambang pemasakan. Sebenarnya kebutuhan
9 sampai 10 jam pemasakan hanyalah prediksi ibu yang terkadang dapat berubah
menjadi beberapa jam lagi jika api rentan mati dalam tungkunya karena tidak
terlalu dijaga dengan baik.
Tepat
pada waktu yang sangat larut kami mengangkat lontong dari tungku dan ibu telah
mempersiapkan lauk yang bertemankan tauco cabe hijo dan aneka macam daging.
Keesokan paginya usai Shalat Idul Fitri, rumah kami memang benar-benar diserbu,
bagaimana tidak, rumah kami terletak di depan masjid. Tidak salah juga ya
lontong kami terkenal dan dilahap warga kampung serta sanak famili setiap
tahunnya, pikirku.
Hehe...
BalasHapusKami termasuk golongan "suka-makan-lontong-di-rumah-sodara" :D
oh ya?? :D kalau kami tukang tungku api tiap tahun.. hehhehe. salam kenal
BalasHapus