Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Lontong Tungku Api #PenaKamiTidakPuasa


            Saat lebaran tiba, ada hal menarik yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang dirumah kami. Karena setiap lebaran mucul saya kerap menemukan sanak tetangga seberang kampung yang asing ikut bersilaturahmi ke rumah kami. Setelah bertanya-tanya, ternyata mereka memang sanak famili jauh dari ayahanda. Saya saat itu sedang menonton televisi di ruang depan dan ketika menuju ke belakang,
“Wahh.. Lontong yang disediakan tadi pagi kok cepat sekali habisnya?” tanyaku pada Ibu yang sedang mempersiapkan lagi lontong yang tersedia di dapur.
“Ya.. diserbu dong sama tamu seberang Meunasah Pante!”
Dibalik tidak kenalnya saya kepada mereka, saya turut bangga. Mungkin saya sedang tidak puas-puasnya berpikir, bagaimana mereka tahu kalau di rumah kami menyediakan lontong tiap tahunnya? Sebenarnya memang tidak jadi masalah karena biasanya kami memasak lontong dalam jumlah yang banyak. Tentu ini sudah menjadi tradisi, tiap tahun ibu mengukusnya dengan berbambu-bambu nasi dan  memasaknya dengan alumunium berukuran sebesar ember cat.
            Tentunya saya turut andil dalam pembuatan acara tahunan ini dan menjadi koki pemantau api tiap tahunnya. Andai ada banyak saudara kandung saya yang tidak sibuk diluar rumah, ia akan turut membantu, ah sayangnya kegiatan ini seolah-olah semua tangan tertuju padaku.
            Kalau ayahanda tidak terlalu sibuk, biasanya ia akan membantu mencari pelepah pisang dari kebun yang daunnya besar-besar. Daun ini biasanya akan menjadi bahan dasar pembungkus kukusan lontong. Berpuluh bungkus kukusan beras dikaitkan dengan lidi atas dan bawah daun. Setelah selesai, Ibulah yang akan menjadi bagian pengatur dan penyusunan letak di dalam panci besar alumunium itu.
            Terlepas dari itu semua, saya turut menjadi anak bawang untuk mengangkatnya menuju belakang rumah kami, dimana ada banyak kayu kebun yang ditebang, kayu bekas pembangunan dan tidak lupa batok kelapa kering. Tiga bahan tersebutlah yang akan menjadi pemicu pembakaran lontong di atas tungku. Loh kok batok kelapa bisa? My dear, batok kelapa ini lah yang pada dasarnya yang menyembabkan semburat api menjuntai ketika api beranjak mati. Tidak mengerti pula bagaimana detilnya, tetapi yang jelas batok mengandung minyak.
            Begitulah tugas saya sepanjang hari, memantau api di belakang rumah dalam kegiatan annual sepanjang kebahagiaan Lebaran. Memasaknya tentu menguras tenaga, selain harus selalu memasukkan batok kelapa ataupun kayu dalam tungku berulang-ulang, saya juga harus melihat ketersedian air yang digunakan untuk merebus kukusan. Jika tidak? makanan tidak akan masak dong! Tentu air perebusannya harus diberi berulang-ulang pula ketika ketersediaannya habis.
            Selain itu, memasaknya membutuhkan 9 sampai 10 jam. Jika memasaknya jam 10 pagi, aku harus memantau masakan ini hingga larut malam. Acapkali mukaku menjadi memerah kegelapan, seharian bermain dengan api dan asapnya. Jika bukan memasak dengan waktu yang sepadan, lontongnya tentu akan amburadul. Hal ini pernah terjadi pada beberapa tahun silam, lontong menjadi terlalu lembek karena tidak bagus penjagaannya atau terlalu keras karena melewati batas ambang pemasakan. Sebenarnya kebutuhan 9 sampai 10 jam pemasakan hanyalah prediksi ibu yang terkadang dapat berubah menjadi beberapa jam lagi jika api rentan mati dalam tungkunya karena tidak terlalu dijaga dengan baik.

            Tepat pada waktu yang sangat larut kami mengangkat lontong dari tungku dan ibu telah mempersiapkan lauk yang bertemankan tauco cabe hijo dan aneka macam daging. Keesokan paginya usai Shalat Idul Fitri, rumah kami memang benar-benar diserbu, bagaimana tidak, rumah kami terletak di depan masjid. Tidak salah juga ya lontong kami terkenal dan dilahap warga kampung serta sanak famili setiap tahunnya, pikirku.

2 komentar:

  1. Hehe...
    Kami termasuk golongan "suka-makan-lontong-di-rumah-sodara" :D

    BalasHapus
  2. oh ya?? :D kalau kami tukang tungku api tiap tahun.. hehhehe. salam kenal

    BalasHapus