Teman,
semakin hari semakin kita percayai kita sibuk, sibuk sekali. Banyak sekali
pekerjaan dalam kehidupan ini ada saja yang tidak atau merasa belum
diselesaikan. Tapi, terkadang paling tidak teringat sesuatu hal saat saya sibuk,mungkin.
Setelah lelah bekerja seharian, sebahagian dari kita sekali-sekali mungkin akan
bertanya,”kapan semua ini akan berakhir?” dan kalimat selanjutnya yang biasa
memantulkan hati ,“kita bisa saja hari ini dipanggil Tuhankan dalam keadaan sibuk?”
Jadi, saya telah membayangkan bahwa hari ini bisa saja saya dan kamu yang
sedang sibuk-sibuknya dipanggil oleh Tuhan kan? Mungkin disaat sedang duduk, sedang
tidur siang, sedang berjalan atau mengendarai kendaraan bermotor, sedang
mengajar, sedang makan, banyak sekali tempat-tempat yang memungkinkan kita yang
sama sekali tidak akan menutup kemungkinan untuk segera dipanggil oleh Tuhan .
Saya tidak tahu apa yang ada dibenak teman-teman akan merasakan hal yang sama
atau tidak. Karena boleh jadi hari ini adalah hari terakhir kita akan hidup, mungkin.
Maka dari sejak bangun dini hari
saya merasa selalu ingin sekali bertanya dan menguraikan isi hati dalam
qiyamullail yang panjang. Diantara kalimat yang panjang-panjang, ada satu
pertanyaan yang selalu saya panjatkan setiap acap kali saya berqiyamullail dan
tidak pernah saya tinggalkan, “oh ya Tuhan (Allah), apa hamba akan dijemput
hari ini?”. Kalimat Tanya itu selalu membayang saya waktu subuh, pagi datang,
menjelang siang, dijemput sang sore dan malam lagi. Namun, saya tidak mengerti
sepertinya saya tidak mendapatkan jawabannya. Ah iya, dalam detik-detik
kehidupan yang telah hadir menghampiri, saya bersyukur, umur saya ternyata
masih ada saat ini, itu tandanya Tuhan sedang memberi kesempatan saya lebih
banyak untuk berbuat baik.
Adapun bentuk syukur itu telah
membuat saya mengerti, Tuhan memberi saya kesempatan hidup. Dengan demikian,
disela pekerjaan yang sibuk, saya selalu menyempatkan mengisi kegiatan yang
telah sepadannya. Saya berusaha melakukan hal yang positif dan bermanfaat
setiap harinya sebanyak-banyaknya. Saya inginnya menolong siapapun meskipun
membaantu sang penjahit untuk memasukkan benang ke dalam jarum jahitan. Memberikan
jasa tumpangan untuk mereka yang kesulitan pulang kerumah karena tidak punya
ongkos. Memberikan senyuman kepada semua orang baik mereka yang menyimpan rasa
benci mendalam, layaknya senyuman terakhir yang terpanjatkan seumur masa.
Mengajarkan mereka yang ingin mengambil sesuatu jasa gratis dan Cuma-Cuma tanpa
imbalan dari saya sendiri. Menjenguk mereka yang sakit, meskipun saya hanya
mengenal mereka disatu tempat dan beberapa waktu saja serta membangun
kehangatan tak terduga bagi mereka. Memberikan semua kesejukan apa pun yang
saya punya seolah-olah saya merasa memang seharusnya ini yang saya lakukan.
Shalat dimanapun keadaannya meskipun harus ditanah pasir lautan akan membuat
saya terpanggil. Lantas ada yang bertanya, bagaimana itu semua dapat terjadi?
bukankah menampakkan itu adalah riya?
“saya
takut shalat disini akan kelihatan orang-orang!”
“saya
takut jadi menampakkan semua amalan kebaikan kepada orang, takut dikira orang
saya itu ria banget mbak”
Ah iya yang benar saja? Saya
merasa, jika kita takut berbuat sesuatu itu karena orang lain ya tetap saja itu
merupakan bagian dari ria. Tidak ada bedanya dengan riya yang sebenarnya yaitu
masih “karena orang lain”. Berani karena “orang lain” atau takut karena “orang
lain”.
“ah
masak sih? Masak kita gak bakal riya walaupun sedikit?”
Mungkin begini jadinya
pertanyaan yang sering dihadapi kita semua. Ya tepat sekali, mungkin kita
merasa menjadi riya meskipun itu kecil dan hebatnya tuan rumah pembaca tulisan
ini.. paradigma pertanyaan tersebut mungkin kurang tepat untuk kita simpan pemahamannya,
pada dasarnya dimanapun kita berpijak, bernaung dinegeri para alien, negeri
pada orang hutan yang tinggal dihutan, dinegeri seribu macam langit yang elok,
gunung yang kecil atau bukit-bukit yang terhampar, di sawah yang ditumbuhi
palawija tidak akan pernah menentang kita untuk berbuat baik, pada dasarnya
ketika hati siapapun yang hanya ingin
selalu bersama dengan penciptanya, tidak akan pernah menjadi alasan dimanapun
ia berada memperlambatkan kehadirannya kepada sang penciptanya, karena
penciptanya adalah kekasihnya, ia akan tetap selalu menyambut seruan Tuhannya
lebih cepat, semua perkara baginya adalah baik, sesuai dengan kehendak Tuhannya.
Berbeda dengan mereka yang belum berbagi suka-duka, mereka yang telah terpaut
hatinya dan telah mempersembahkan hidup-matinya itu merasa telah berjanji
selalu berada dalam dekapanNya, mereka akan senang setiap kali bertemu bahkan
ingin berlama-lama bersujud seraya mengabdi tingginya haturan kebahagiaan luar
biasa kepada penciptaNya. Rasa itulah membuatnya tidak pernah merasa riya,
karena persembahannya adalaah hanya milik Tuhannya semata.
Kita dapat menghela napas panjang tiada hentinya. Ternyata kitapun masih
diberi kehidupan yang berarti sekali karena nilainya hanya satu kali dan tidak
akan berulang. Sama sekali tidak akan. Waktu tidak akan pernah meminta kita
kembali. Jika ada yang bertanya, ”kalau waktu adalah uang, apakah atm itu mesin waktu?”, ah
sayangnya..temanku yang sedang bermimpi matahari terbalik, atm itu mesin uang
ya, benar-benar atm adalah dunia perbankan. Waktu tidak bisa ditabung,
ditransfer apalagi didebet kreditkan seperti atm. Taraa.. mau kita kemanakan
waktu itu? Jika tiba-tiba jarum pendek dan panjang jam dinding dirumah harus berhenti berdetak
melainkan bukan akibatnya baterai yang habis, tapi “masa” kita yang telah
berakhir dan beristirahat sepenuhnya dan selamanya tidak berada didunia lagi.
Maka lakukanlah kebaikan dimana saja, manfaatkan waktu yang telah tersedia,
jangan takut riya ya, uhibbuka ya rabbi (saya mencintai engkau Tuhanku), niatkan
kepada Tuhan, tidak perlu merasa riya, who
cares.. ternyata tahu atau tidak, 1 detik, 5 menit, 4 jam lagi kita telah
tiada, kita bawa buku kehidupan itu untuk menjadi peri-peri indah dalam tidur
yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar