Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Universitas Negeri Bahagia

Catatan hatimu semestinya ada di setiap musim. Tidak semua mungkin mampu melukiskan benaknya, tentu terlebih sulit adalah saat pipi sudah mulai seperti lansia, entah apa sebabnya yang dirasa. Mungkin ada yang ingin mengatakan wajah telah penat sudah. Duhai, bagaimana seharusnya menjadi seperti yang tuhan harapkan. Sebenarnya hal ini sangat sederhana, aku bukan seperti dahulu lagi. Bukan lagi wanita yang senang menangis disaat temanku ceria atau wanita terdiam disaat yang lain mulai ricuh dengan kesibukannya. Bukan lagi tepat dikatakan wanita yang semestinya diharapkan lebih banyak karena selalu menang, bukan seperti saudari-saudari sekitar yang selalu dibanggakan, pun aku tidak berharap dibanggakan lebih banyak. Aku akan melewatkan sesuatu yang akan mampu kulihat saja, tetapi bukan karena kekecewaan. Tapi, menunggu. Apa yang aku tunggu?

Menceritakan ini bukanlah seharusnya menjadikan sebuah kelegaan. Tentu, catatan ini akan semakin mengingatkan pada mimpi-mimpi entah tertunda atau bahkan tidak akan pernah terjadi. Hanya sebagian sekedar mengingatkan akan universitas negeri yang selalu diharapkan, universitas negeri bahagia. Ibu dan Ayah atau aku akan membalik kalimatnya menjadi Ayah atau Ibu. Ayah sudah sangat terbilang jauh dari seharusnya dan Ibu yang terkadang sesekali sakit. Ayah dan Ibu memang letak kebahagiaan, terjamin sejak dahulu dan tidak terbantahkan, saat doanya berlantunan siang malam. Aku hanya bisa menunggu, sambil membuka mata melihat langit-langit malam. Memikirkan suatu masa, apakah aku akan menjadi berguna? dan mapan bagi mereka?


Seperti suasana harinya. Hari ini keputusan penting datang, seolah aku memutuskan suatu perkara yang besar. Ini soal universitas itu. Apakah kabarnya? Apakah semua universitas tahu soal Universitas Negeri Bahagia? Duhai cintaiku Tuhan di bulan suci dan segala masa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar