Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Ujong Pancu dan BIOLOGI #1


Berbekal kaos kaki pemain futsal yang berwarna hitam,kuning dan putih belang-beling, kali  ini kami akan menjelajahi kucing. hehehe. Maksudnya kami akan menjelajahi dunia. Dunia yang kami kunjungi sederhana saja, dunia yang sedikit jauh dari perkotaan dan kumpulan dedaunan yang berserakan. Tempat apa bah? Tong sampah? eh, Tunggu. Sebelum saya ceritakan kronologinya. Patut saya ceritakan apa saja barang-barang yang saya dan teman-teman bawa semestinya di sini.

Namanya saja praktikum. Pasti di sini kami akan membawa peralatan yang memiliki hubungan dengan praktikum. Pada semester lalu, kami diharapkan untuk menggali sumber-sumber hayati untuk dikelompokkan. Karena terdapat begitu banyak yang bisa dipelajari di dunia ini, so that's why salah satu perantara untuk mempelajari aneka ragam yang hidup tersebut yakni melalui studi taksonomi. Studi yang mempermudah kita mengenal ribuan jenis yang hidup bahkan lebih untuk dikelompokkan. Bahan-bahan yang dipersiapkan di antaranya ketapel, gunting tanaman, botol Nescafe, alkohol 70%(di dalam kisspray), karung, kertas sampel, formalin 4%, kertas plak, dan sasak kayu. Tepat sekali, jika kalian pernah mendengar fungsi kertas plak, itu berarti tidak jauh-jauh dari tumbuhan. Guna plak itu sendiri akan digunakan untuk proses pengoleksian. Itu tandanya tidak salah lagi, kami akan bermain di hutan. Hutan yang kami kunjungi adalah hutan konservasi di wilayah sekitar perbukitan. Lokasi yang dipilih adalah Ujung Pancu yang masih terletak di Pulau Sumatera.

Ujung Pancu terletak di Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar. Jika Sabang adalah nol kilometernya Indonesia, Ujong Pancu merupakan nol kilometer Pulau Sumatera. Pada lokasi hutan ini juga tidak jauh dari pemakaman ulama Aceh, Hamzah Fansuri. Area ini masih sangat basah dan akar liana yang juga mendominasi. Lokasi yang dikunjungi masih sangat alami dan beberapa pinggiran gunung yang mendekati ke arah laut masih terdapat pula tumbuhan-tumbuhan yang sangat unik dan jarang ditumbuhi di area umum lainnya.


Maka tidak hanya itu, beberapa hari sebelumnya kami telah mempersiapkan bahan-bahan yang mendukung perjalanan seperti makanan, minuman, sepatu yang kondusif dipakai untuk perjalanan mendaki, kaos kaki yang tebal agar terhindar dari gigitan pacet atau lintah, dan perlengkapan lain untuk menghindari hal di luar yang tidak diinginkan seperti mantel. Kegiatan ini biasanya akan ada sebuah truk yang akan diisi beramai-ramai. Truk yang membawa kami sampai ke ujung pancu dengan segenap kebersamaan yang tiada tara. Melewati sejuknya angin pagi, kepala kami yang berada di atas yang rentan menanduk batang pohon dan daun dipinggir jalanan atau bahkan baju dan jilbab yang bisa saja tersangkut di pohon tanpa sadar (saya hampir mengalaminya). Duhaaaaiii..... sayang, bagi yang bukan BIOLOGI dan tidak melalukan ekspedisi dengan menggunakan truk maka akan ketinggalan momen ini, dimana kami semua terseok ke depan truk saat rem mendadak berhenti. Semuanya tertimpa dan maknyus, nah ditambah lagi saat terdapat gundukan jalanan maka semua dari kami akan terloncat ke udara (huaaaaaaaaaa...... Seperti dalam cerita "up"), dan yang berada di belakang truk yang selalu asoy dengan pemandangan yang leluasa akan hingar-bingarnya pemandangan di belakang truk, dan akan malu ketika cowok dan cewek ganteng celingukan ke atas mereka atau momen ini berkesempatan bagi lelaki terganteng sedunia dari BIOLOGI untuk menegur orang-orang yang berpacaran dipinggir jalan (resiko) atau cewek cantik dengan busananya jleb.

Setelah melakukan perjalanan yang asik, kemudian sampai pada sebuah pusat atau pondok para penyelam berada. Ya, kami sebelumnya tidak tahu tentang pondok itu. Di sanalah kami beristirahat dan diberi kelapangan tempat untuk melaksanakan praktikum. Mereka juga tidak jauh dari kami, hanya saja kami salut tempat ini juga menjadi progress yang posiitf untuk membangun kecintaan alam. Namun, saya berpikir mungkin saya saja yang baru mengetahuinya. Semua kondisi pondok benar-benar diciptakan sesuai dengan tujuan penyelaman. Silih berganti para penyelam muncul dan keluar dari arah laut.

Baik. Jika mereka menyelaam maka kami akan bergegas untuk menuju ke arah belakang pondok yang berbukit. Tidak lupa kami menurunkan barang, menyimpan yang belum diperlukan di dalam pondok dan menggunakan yang diperlukan saja saat praktikum berlangsung. Hampir saja lupa, di sini ada beberapa asisten yang akan membimbing perjalanan dan dua orang dosen pembimbing mata kuliah, tidak lupa staff jurusan yang mendukung Bang Ayi. Pemandu segera memberikan arahan mengenai situasi yang akan kami hadapi ke depan dengan niat yang benar alias tidak menyalahi aturan. Siipp pak!

Goooooo!!!

Kami keluarkan ketapel, ternyata gak berfungsi. Pohonnya terlalu tinggi. Ketapel akan di gunakan untuk mengambil sampel dedaunan pohon. Jadi, mau tidak mau kami akan mengidentifikasi pohon yang ditemui hingga ke daun-daunnya melainkan identifikasi bentuk kayu dan yang hidup di atasnya. Saya yakin mengapa lumut dan tumbuhan-tumbuhan kecil masih ingin tumbuh di sekitaran pepohonan karena di sanalah mereka rentan mencari tempat tinggal. Tapi, mereka juga dapat menjadi indikator polusi. Ya, benar. Perhatikan saja pepohonan di jalanan kita, masih adakah jamur-jamur yang hijau itu? Polusi membuatnya hilang.

Kami menemukan pohon kayu manis yang dibudidaya, obat luka, mangga, jamur, Selaginella sp., paku yang beragam jenis dan tidak kami temukan di tempat umum, jambu monyet (mete), ulat api (kami tidak butuh ulat itu, sungguh), tanaman perkebunan, bambu, jenis rerumputan, akar-akar liana yang biasa digunakan sebagai tempat munculnya air untuk survive, tumbuhan bersulur yang bervariasi, tumbuhan duri, ah banyak. Semua tumbuhan sebisa mungkin kami kutip dan kami masukkan ke dalam karung dengan kelipataan tiga. Pengambilan kelipatan tiga berguna apabila spesimen ini rusak dan mendapat pengganti. Spesimen yag telah diambil di berbagai posisi diberi nama dengan label gantung sesuai dengan lokasi.
Sejenak kami menikmati udara sejuk di dalam nya. Bukitnya telalu indah.

Seusai pengambilan spesimen kami beranjak dari tempat istirahat dan mengikuti penjaga hutan untuk kembali, namun sebagian tidak setuju terlalu cepat kembali. alur jalan yang kami tempuh kali ini sudahlah berbeda, saya sangat asyik mengikuti penjaga harus juga menelan resikonya. Gunting tanaman ibu saya hancur gara-gara digunakan untuk memotong pagar kawat untuk menempuh jalan pintas, hiks.. maaf bu, saya ganti deh. Abang penjaga tidak peduli, tau dan tidak tahunya ia soal gunting tanaman. Yang terpenting semua memakai jalan pintas untuk kembali pulang. Jeder!! (*saya tembak)

Setelah pintu ajaib terbuka, kami semua terbang bebas seperti nobita, shizuka, dan doraemon. Llalalalala. Kami menuju tempat rumah warga dan sebuah meunasah kecil yang di sekelilingnya dipenuhi dengan tembelek sapi, (iuuhh) sampai di sana lah kami kembali bingung untuk lanjut bertualang atau cukup. Sebagian mengatakan lelah, ah gak asik. Sambil menunggu semua komit, beberapa dari kami mulai celingak-celinguk sekitar. Tepat di ujung pagar, terdapat sebuah jeruk nipis yang berukuran hampir sebesar jeruk sankis. Jumbo banget bro. Jeruk apa ini? Kami terus bertanya-tanya, "ah gak bisa, yuk Pak kita makan, petik!" Ungkap kami semua. Dengan mengguanakan pisau seorang dosen memetik buahnya dan kami semua makan jeruk asam itu, ternyata memang tidak jauh berbeda dengan jeruk nipis, hanya saja memang ukurannya sedikit lebih besar dari biasanya dan tidak seasam jeruk nipis. "Enak, beneran! mau coba?" ungkapku sambil cengengesan gigi kepada seorang teman (dasar anak aneh).

Tralala lilili, wiwiwi. Kami akhirnya memutuskan  untuk kembali ke pondok peristirahatan. Kami sempatkan diri untuk narsis ditengah perjalanan karena bahkan dosen pembimbing kami gak melarang kami untuk narsis.




Suasana tiba-tiba mendung dan kabut dari arah laut. Eh, tak sejeli mata memandang hujan langsung mengguyur dan kami berlarian massal menyelamatkan diri. Akhirnya mantel kami pun tidak terpakai. Tidak sempat berpikir untuk mantel.

Selepas kembali menuju pondok. Kami beristirahat sejenak. Saya melihat seekor kucing ukuran jumbo di sana. Dia berlari-lari dan kawan saya menangkapnya. Kucing yang manja, tidak menolak untuk dipeluk siapa saja. Dipegang manusia diam dan senyum-senyum. Wew, Kucing apa toh? kok rela dan ikhlas begitu mukanya bahkan tidak melawan sedikitpun. Saya ingin pegang, tapi sayangnya baru saya pegang. Asisten saya ngomel dan marah. Ya wajar aja, ini bukan waktunya pegang kucing. Saya harus menyiapkan tumbuhan yang kami bawa untuk di simpan. Daun-daun yang berada di dalam karung sudah saatnya dikeluarkan. Sampel-sampel ini saatnya dipilih dan disemprot menggunakan alkohol 70% di atas kertas plak yang telah dilapisi kayu sasak. Penyemprotan ini berguna untuk antiseptik agar daun tidak mudah berjamur jika di simpan berhari-hari. Begitulah selanjutnya, terdapat beberapa spesimen yang akan di awetkan. Saya sedang berpikir. Jika nanti saya ke Jepang dan menemukan daun Gingko Biloba yang hanya ada di negara jepang saja, akan saya awetkan alias diherbariumkan. Selanjutnya saya koleksi di dalam ruang saya belajar. (Kapan ke Jepang?).


Selesai menyemprot, barulah saya sempat mengganggu kucing gendut itu. Sini sayaaaanngg....



*

Ini kucing memang gak kurang gizinya sama sekali mah, saya selalu berandai setiap kucing tidak kurang gizi. Saya bertanya kepada orang disekitar pondok bahwa pemiliknya memberinya makanan keju dan makanan selayaknya manusia. Nah, apakah yang terjadi dengan kita?

Kucing ini persis seperti kucing di luar negeri dan berharga mahal. Ternyata saya tanya lagi rupanya ini kucing liar pungutan dan bukan kucing angora dan sebagainya. Kucing angora tentu lebih mahal. Lantas apa yang terjadi dengan kita? Bukankah kita itu tau kucing itu hewan kesenangan nabi Muhammad? Kenapa kita tidak memuliakan sunnah? Kenapa cuma ngasih tulang ikan? Apa kita mau makan tulang ikan? Ternyata kucing yang saya pegang itu gak hidup sendiri walaupun ia sudah mandul. Temannya sedang bersembunyi. Saya peluk kucing ini sepuasnya.  (To be Continued)


(*Penampakan di bawah meja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar