Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

WASPADA: ILMU jurus bela diri !


Teringatkah dengan sebuah cerita  Abu Nawas yang satu ini? Kejadian Abu Nawas lagi mencari cincinnya yang hilang. Abu Nawas mencari cincinnya diluar rumah, dihalaman depan, halaman belakang, kesemak-semak, samping kiri dan samping kanan rumah, kesana-kemari juga tidak menemukan cincin tersebut. Tetangganya heran dan ikut membantu mencarikan, cincin tersebut ternyata juga tidak ditemukan. Terus tetangganya menanyakan:
Tetangga : ”Abu Nawas, memangnya cincinnya hilang kemana?”
Abu Nawas: ”hilangnya didalam rumah.”
Nyambung tetangga,
Tetangga :” yeeeeeee…..Abu Nawas, hilang cincin didalam rumah kok nyarinya diluar rumah”
                Begitulah seringnya kita, kita sering mencari penyebab diluar dari diri kita. Betapa banyak sudah kisah yang kita manipulasikan untuk terus mencari kesalahan orang lain bahkan bukan menyalahkan diri kita sendiri. Sering adakalanya kita merasa kesal jika dinasehatkan, padahal untuk kebaikan, namun kita cenderung merasa hina saat kita diberi kritikan tersebut sehingga timbullah, “Aku begini karena dia, gara-gara dia atau mereka !..”
                Atau variasi lain misalnya, “saya terlambat karena macet, hujan, gak ada yang mengantarkan, rumah saya jauh, saya harus ini.. dan ituu..”. Adapun yang bergumam, “saya bangkrut karena pengkhianatan karyawan saya dan krisis dimana-mana.” Demikian katanya.
                Etiskah kita selalu menyalahkan orang lain disaat suatu kejadian yang genting? Baikkah kita marah jika dinasehati karena memang kita tidak sadar kita adalah dipihak yang salah? Benarkah segala hal yang terjadi itu gara-gara seseorang yang kita tuju? Jangan-jangan dia hanya tokoh saja, ada dan tidak adanya dia, krisis dan naas atau kejadian buruk akan tetap terjadi kepada kita dan kemungkinan besar yang dapat disalahkan adalah diri kita sendiri, bukan diluar dari diri kita.
                Bukankah dengan kalimat, “ saya mengakui saya salah.” Adalah kalimat yang sederhana dan  menyenangkan bagi yang mendengar ketimbang memberi alasan yang dipastikan memacu diri untuk lebih banyak memanipulasikan data yang akurat mengenai kesalahan? Padahal sejatinya mengakui kesalahan adalah langkah yang hebat membela diri kita sendiri dibandingkan jurus bela diri sekalipun. Mungkin asumsi bela diri dapat kita rubah menjadi hal hebat ini, mengakui kesalahan. Mungkin sudah semestinya kita mengetahui hebatnya jurus bela diri yang sedewasa ini orang-orang hanya tahu mengakui kesalahan adalah aib pribadi, namun bukankah setiap pribadi memiliki insting merasakan perkataan mereka yang tidak jujur dengan memberikan alasan-alasan yang sama sekali tidak dapat ditoleransi? Pentingnya mengakui kesalahan adalah sebuah sikap tawadhu’ yang jarang sekali dimiliki khalayak ramai saat ini. Mereka orang pilihanlah yang berani melaksanakannya. Mereka adalah yang mengerti pentingnnya  menegakkan kebenaran dalam pribadi sebelum masuk kesosial masyarakat dan mengritik banyak orang yang tidak benar. Merekalah orang yang konsisten yang berbenah diri dan suka mengingatkan kebaikan dikala suka dan duka serta peduli atas kejujuran yang memiliki nilai hirarki tertinggi dalam membangun sebuah kepercayaan.
                Dengan demikian, sudah seharusnya kita berbenah diri. Mengakui kesalahan dan meminimalisir kesalahan yang kerap sekali terjadi serta belajarlah darinya. Lebih mulia mengakui kesalahaan ketimbang membiarkan hati terus buta dengan kesalahan. Belajarlah menguasai hati dan diri agar terus mampu menasehati diri. Kitalah jiwa-jiwa yang kuat untuk mempelajari kehadiran mereka.
                Apapun yang terjadi memang manusia kerap sekali melakukan kesalahan. Kesalahan akan terus tidak terperbaiki ketika kita hanya bisa menjadi pribadi yang hanya menyaksikan tanpa mengoreksi. Menjadi pribadi yang hanya mencoba hidup mengalir seperti air yang mengikuti aliran membawanya. Pada akhirnya kita pun akan terperangkap pada perasaan sia-sia. Tidak berubah dan terus menjadi posisi yang salah apalagi mencoba menghalalkan banyak alasan. Alasan menjadi suatu kontinuitas kehidupan yang tidak dapat di tolak kehadirannya, namun ketika gagalnya suatu program besar dengan toleransi hal-hal kecil berarti alasan itu tidak dapat ditoleransi dengan logis. Alasan tidak menjadi prioritas gagalnya suatu perencanaan yang akan dilakukan, titik fokus dan program yang telah terencana. Ketika menghalalkan banyak alasan, jelas banyak hal yang terjadi secara tidak kondusif dalam hal kemanfaatan. Dengan demikian, ingat kata kuci : Bela diri. Bela diri, dan tidak lain adalah BELA DIRI. Jangan sembab dengan kata bela diri, ini lah bela diri yang sebenarnya, mengakui kesalahan.
                                                                                                                                                Virtual cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar