Teringatkah
dengan sebuah cerita Abu Nawas yang satu
ini? Kejadian Abu Nawas lagi mencari cincinnya yang hilang. Abu Nawas mencari
cincinnya diluar rumah, dihalaman depan, halaman belakang, kesemak-semak,
samping kiri dan samping kanan rumah, kesana-kemari juga tidak menemukan cincin
tersebut. Tetangganya heran dan ikut membantu mencarikan, cincin tersebut ternyata
juga tidak ditemukan. Terus tetangganya menanyakan:
Tetangga
: ”Abu Nawas, memangnya cincinnya hilang kemana?”
Abu
Nawas: ”hilangnya didalam rumah.”
Nyambung
tetangga,
Tetangga
:” yeeeeeee…..Abu Nawas, hilang cincin didalam rumah kok nyarinya diluar rumah”
Begitulah seringnya kita, kita
sering mencari penyebab diluar dari diri kita. Betapa banyak sudah kisah yang
kita manipulasikan untuk terus mencari kesalahan orang lain bahkan bukan
menyalahkan diri kita sendiri. Sering adakalanya kita merasa kesal jika
dinasehatkan, padahal untuk kebaikan, namun kita cenderung merasa hina saat
kita diberi kritikan tersebut sehingga timbullah, “Aku begini karena dia, gara-gara
dia atau mereka !..”
Atau variasi lain misalnya,
“saya terlambat karena macet, hujan, gak ada yang mengantarkan, rumah saya
jauh, saya harus ini.. dan ituu..”. Adapun yang bergumam, “saya bangkrut karena
pengkhianatan karyawan saya dan krisis dimana-mana.” Demikian katanya.
Etiskah kita selalu menyalahkan
orang lain disaat suatu kejadian yang genting? Baikkah kita marah jika
dinasehati karena memang kita tidak sadar kita adalah dipihak yang salah? Benarkah
segala hal yang terjadi itu gara-gara seseorang yang kita tuju? Jangan-jangan
dia hanya tokoh saja, ada dan tidak adanya dia, krisis dan naas atau kejadian
buruk akan tetap terjadi kepada kita dan kemungkinan besar yang dapat
disalahkan adalah diri kita sendiri, bukan diluar dari diri kita.
Bukankah dengan kalimat, “ saya
mengakui saya salah.” Adalah kalimat yang sederhana dan menyenangkan bagi yang mendengar ketimbang
memberi alasan yang dipastikan memacu diri untuk lebih banyak memanipulasikan
data yang akurat mengenai kesalahan? Padahal sejatinya mengakui kesalahan
adalah langkah yang hebat membela diri kita sendiri dibandingkan jurus bela
diri sekalipun. Mungkin asumsi bela diri dapat kita rubah menjadi hal hebat
ini, mengakui kesalahan. Mungkin sudah semestinya kita mengetahui hebatnya
jurus bela diri yang sedewasa ini orang-orang hanya tahu mengakui kesalahan
adalah aib pribadi, namun bukankah setiap pribadi memiliki insting merasakan
perkataan mereka yang tidak jujur dengan memberikan alasan-alasan yang sama
sekali tidak dapat ditoleransi? Pentingnya mengakui kesalahan adalah sebuah
sikap tawadhu’ yang jarang sekali dimiliki khalayak ramai saat ini. Mereka
orang pilihanlah yang berani melaksanakannya. Mereka adalah yang mengerti
pentingnnya menegakkan kebenaran dalam
pribadi sebelum masuk kesosial masyarakat dan mengritik banyak orang yang tidak
benar. Merekalah orang yang konsisten yang berbenah diri dan suka mengingatkan
kebaikan dikala suka dan duka serta peduli atas kejujuran yang memiliki nilai
hirarki tertinggi dalam membangun sebuah kepercayaan.
Dengan demikian, sudah
seharusnya kita berbenah diri. Mengakui kesalahan dan meminimalisir kesalahan
yang kerap sekali terjadi serta belajarlah darinya. Lebih mulia mengakui
kesalahaan ketimbang membiarkan hati terus buta dengan kesalahan. Belajarlah
menguasai hati dan diri agar terus mampu menasehati diri. Kitalah jiwa-jiwa
yang kuat untuk mempelajari kehadiran mereka.
Apapun yang terjadi memang
manusia kerap sekali melakukan kesalahan. Kesalahan akan terus tidak
terperbaiki ketika kita hanya bisa menjadi pribadi yang hanya menyaksikan tanpa
mengoreksi. Menjadi pribadi yang hanya mencoba hidup mengalir seperti air yang
mengikuti aliran membawanya. Pada akhirnya kita pun akan terperangkap pada perasaan
sia-sia. Tidak berubah dan terus menjadi posisi yang salah apalagi mencoba
menghalalkan banyak alasan. Alasan menjadi suatu kontinuitas kehidupan yang
tidak dapat di tolak kehadirannya, namun ketika gagalnya suatu program besar dengan
toleransi hal-hal kecil berarti alasan itu tidak dapat ditoleransi dengan
logis. Alasan tidak menjadi prioritas gagalnya suatu perencanaan yang akan
dilakukan, titik fokus dan program yang telah terencana. Ketika menghalalkan
banyak alasan, jelas banyak hal yang terjadi secara tidak kondusif dalam hal
kemanfaatan. Dengan demikian, ingat kata kuci : Bela diri. Bela diri, dan tidak lain adalah BELA DIRI. Jangan sembab dengan kata bela diri, ini lah bela diri
yang sebenarnya, mengakui kesalahan.
Virtual
cahaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar