Virtual Cahaya

ich bin Gluckliche

Guru: "Allahu Allah"

Bagaimana jika hari ini aku merasa bersedih? Apa nasihatmu duhai guru? Perjuanganku ini rasanya tak pernah aku pekai seperti cintamu dan cinta Tuhanku. Padahal engkau telah melewati rasa pahit dan suka dalam naungan ini lebih dulu. Hanya diriku sangat mengeluh denganmu, padahal Tuhanku sangat ingin aku dicelai, digundahi agar aku paham bahwa Aku hanya harus berbuat dan mencintai karenaNya, berharap hanya padaNya walau tiada siapapun disampingku. Mungkin saja suatu saat aku akan tetap merasa sendiri meskipun kutemui keramaian. Sungguh itu niscaya. Allah mengutus mereka yang mencela jalanku tak akan sampai hanya karena ingin membuatku kembali meminta pertolongan hanya kepadaNya.

Aku yang seperti engkau lihat duhai guru, penciptaanku tak mungkin biasa, aku cantik. Ibu dan ayahku memberi namaku sepulang dari ranah makkah dan madinah, kemudian aku terlahir dengan benar-benar sebuah keinginan yang menemukan takdirnya. Doa di negeri itu maqbul, dia negeri yang suci. Aku diberi nama "Cahaya Kebaikan" maka aku juga ingin punya hati yang cantik. Meskipun tidak dapat aku akui kecantikanku ada pada bumi apa dan untuk siapa jika bukan ummahNya?

Tapi, sungguh benar guru. Saat aku punya kamus perjuangan ini, pilu. Tak pernah merasakan perjuangan setelah lama berhidup, yang seperti ini. Aku kemudian kembali bersedih, merasa tidak beruntung. Rasanya siapapun yang menghalangi jalanku dalam mimpiku ini akan terjaga dengan keras peringatan manusia sepertiku. Padahal aku hanya sembilu, berusaha berdikari, tetapi untuk kembali kepadaNya dengan melalui harapan-harapan Ibu dan ayahku, dengan keterbatasan asa. Apakah rasaku tak pernah tulus?

Aku sangat berharap memiliki ilmu. Guru... ilmuku bukan untukku dituntut oleh teman hidupku nanti jika sewaktu-sewaktu anak-anak dari darahku berbuat tak acuh itu karena aku semata, menuntut kejahatan mereka adalah kejahatanku, segala yang hidup padanya hanya semata-mata dariku, darahku, telinganya, wajahnya, adalah telinga dan wajahku, sehingga aku dituntut "ibu macam apa kamu, tidak pintar mendidik anak" sehingga temanku menganggapku tidak perlu untuk dibantu bahkan kemarahan kepada tuntutan yang berilmu, namun tak mampu. Bagaimana ini? Padahal aku ingin ilmu tak harus menuntutku menjadi wanita yang dapat menjadi segalanya yang melahirkan, menyusui, mendidik, menemani perasaanya sendiri, menemani anakku tidur dan segala kebutuhan rumah tangga sehingga hanya nafkah yang satunya cukup dia yang mencari.
Dan.. guru!
Ilmuku hanya untuk penghambaanku pada Allah, sungguh aku sangatlah lemah dan rapuh, Aku penuh dengan sesuatu yang mengotori  melalui perutku, sehinanya sari pati, berharap ilmuku menarikku dari jejaring neraka yang nestapa dan andai ummah juga.

Aku beruntung memilikimu guru. Janganlah, jangan engkau berharap aku akan berpisah dengan semua kasih sayangmu hanya dengan kemarahanmu dan kemarahanku akan nasihatmu. Hilanglah, sungguh janganlah. Aku akan kehilangan dan bersedih. Engkau telah aku satukan dalam mimpi-mimpiku yang tiada tahu ujungnya, 1, 2 atau tidak tahu apakah itu 3 dari masa yang terlampaui. Aku tak pernah tahu ujungnya atas mimpiku. Tuhan membolak-balik hati dan membolak-balik titipanNya. Bantu lah aku, jangan lepaskan, jangan tinggalkan aku begitu saja meskipun engkau pernah menginginkannya. Aku juga manusia yang sama sepertimu. Andai semua tanah ini dapat menyatu pada dahiku, tak henti sujudku untuk ku selalu menyertai doaku yang mulia, kepadamu yang sangat mulia di mataNya. Aku sangat bersungguh-sungguh.

Guru, bagaimana jika aku tidak mampu? Tiba-tiba aku pun merasa berputus (sudah sampai disini)? Apakah jawabmu? Kemudian engkau meninggalkanku baik dengan sengaja atau bukan keinginanmu.

"Allahu Allahu, Allah Allah Allahu"

Izin Aku mencintai. Allah guruku? 



1 komentar: